Jangan Anggap Enteng Potensi Krisis Ekonomi

Jangan Anggap Enteng Potensi Krisis Ekonomi

Hendra Kusuma - detikFinance
Minggu, 16 Sep 2018 19:44 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Pemerintah kabinet kerja terus mewaspadai ketidakpastian global yang belakangan ini mengganggu perekonomian nasional, salah satu dampak yang terasa terdapat pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Meski mewaspadai ketidakpastian ekternal, Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini pun meminta pemerintah untuk tidak menganggap enteng tentang krisis ekonomi.

Didik menjelaskan, sebenarnya pelemahan nilai tukar sudah terjadi 4-5 tahun yang lalu dan praktis tidak ada upaya kebijakan yang signifikan dan cukup serius untuk menahan laju pelemahannya selama 4 tahun terakhir ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia bilang bisa dikatakan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan tidak dapat mengatasi pelemahan nilai tukar tersebut.


"Nilai tukar terkuat 5 tahun lalu berada pada kisaran Rp 9.000 per dolar AS dan sekarang mencapai Rp 15.000 per dolar AS," kata Didik dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (16/9/2018).

"Jadi kalau tidak diambil periode sepotong, maka pelemahan nilai tukar selama ini mencapai tidak kurang dari 60%. Data yang dipakai sepotong untuk memperoleh pelemahan nilai tukar adalah 8% dihitung cuma beberapa bulan terakhir saja," tambah dia.

Didik menyebut, praktek memoles data untuk agar dilihat bagus oleh publik sudah terjadi secara terus-menerus sehingga lupa untuk membuat kebijakan makro yang nyata dan fokus pada masalah. Pelemahan nilai tukar selama 4 tahun terakhir adalah pelemahan yang terjelek.

Sehingga muncul kontroversi mendadak tanpa melihat proses yang terjadi sebelumnya. Kontroversi apakah Indonesia akan mengalami krisis seperti tahun 1998 sangat mengemuka sebagai diskusi publik. Yang satu menganggap bahwa nilai tukar sudah masuk ke dalam kawah panas krisis seperti tahun 1998, sementara ekstrim pihak satunya menganggap ekonomi baik-baik saja dan krisis tidak akan terjadi.

Menurut Didik, yang jelas di dalam kontroversi tersebut terus keluar kampanye make up dan pencitraan terus-menerus tanpa mau fokus ke permasalahan sebenarnya.

"Pelemahan nilai tukar yang dalam sekitar 60% selama 4 tahun terakhir ini adalah tanda bahwa kebijakan makro tidak pruden, tetapi karena pencitraan publik melihat kebijakan yang ada begitu pruden," jelas dia.

Pria yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus LP3ES ini juga mengungkapkan yang penting untuk dibahas bukan pada kontroversi tersebut di mana satu pihak sudah menganggap Indonesia siap masuk jurang krisis. Didik menjelaskan kondisinya memang berbeda di mana ekonomi pada tahun 1998 bercampur aduk dengan kepenatan politik terhadap kekuasaan yang sudah lama bertahta dan tidak tahu kapan ujung selesai dan pergantiannya.

Pada saat ini sistem ekonomi politik Indonesia lebih terbuka sehingga semua kemungkinan terlihat secara transparan. Tetapi hal ini tidak otomatis ekonomi Indonesia bebas krisis dan nilai tukar terkendali. Anggapan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan mencoba memoles-moleh data ekonomi makro yang ada justru menjadi bumerang dan bisa menjadi sikap lengah dan kemudian bisa menjerumuskan ekonomi Indonesia betul-betul ke jurang krisis.



Semestinya, kata Didik pelemahan nilai tukar tidak kurang dari 60% selama beberapa tahun tersebut secara otomatis dapat menahan laju impor sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan.

Tetapi apa yang terjadi, kedua neraca yang sangat penting tersebut jebol karena memang terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untuk menahan tekanan eksternal terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia.

"Ketika rupiah terpuruk ke puncak Rp 15.000 rupiah per dolar, maka make up yang dilakukan adalah faktor eksternal. Ekonomi Indonesia baik-baik saja. Anehnya, yang diterima publik betul-betul make up dan pencitraan tersebut," ujar dia.

Lebih lanjut Didik mengungkapkan, Indonesia memiliki masalah akut yang tidak mampu diperbaiki dan tidak ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya selama ini, yakni defisit neraca berjalan.

Inilah sesungguhnya penyakit struktural yang tidak diatasi dan tidak pernah dicoba untuk dikurangi defisitnya. Pemerintah membiarkan saja penyakit struktural ini terus berjalan sembari melakukan make up dengan menyatakan bahwa pengelolaan makro ekonomi dilakukan secara sangat berhati-hati dan pruden.

"Jadi, penyakit struktural ini jangan dianggap enteng dengan mengatakan kebijakan makro ekonomi sudah dijalankan secara berhati-hati dan pruden. Selama indikator makro tersebut memburuk, maka seribu kata pruden dan berhati-hati tidak akan punya makna karena ekonomi akan terus memburuk. Tetapi karena hebatnya penguasaan media dan media sosial, maka kebijakan yang ada dinilai sangat berhati-hati dan prudent," tegas dia.

Dengan demikian, Didik menganggap bahwa Presiden Jokowi belum menyadari bahwa ekonomi sakit, karena selalu disajikan data-data yang dipoles atau dilihat dari sisi khusus sehingga ekonomi tidak kelihatan sakit.

Padahal, kata Didik, gejala nilai tukar dan defisit neraca pembayaran bisa menjadi gerbang ekonomi nasional ke jurang krisis.



"Indikator kritis ini adalah tanda-tanda ekonomi Indonesia bisa dan bukan tidak mungkin masuk ke dalam jurang krisis. Jangan bermain dan bohong dengan statistik sebab itu buruk untuk mencari solusi kebijakan yang sesungguhnya. Lebih baik kita mengatakan sakit sehingga kita bisa mencari obatnya daripada mengatakan tidak sakit padahal sakit sehingga lupa mancari obatnya," tutup dia. (hek/zlf)

Hide Ads