Acara yang digelarbersamaFoodAgricultureOrganizationoftheUnitedNations (FAO) di Roma, Italia, pada 11 hingga 14 September 2018 ini dihadiri oleh salah satu ex
"Pada artikel ke 9 kesepakatan, di antaranya menyebutkan bahwa negara diminta untuk menjaga kearifan lokal yang sejalan dengan upaya pelestarian SDG. Negara juga diharapkan menjamin hak petani dalam pemanfaatan hasil pengembangan SDG dalam bentuk pembagian keuntungan dari hasil pengembangannya, serta hak petani untuk menyimpan, menggunakan, serta berbagi dengan sesama petani hasil pengembangannya berupa benih," ujar Erizal dalam keterangan tertulis, Senin (17/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, negara pun diharapkan dapat mengembangkan kesepakatan internasional ini agar kemandirian pangan tercapai dan kesejahteraan petani dapat terwujud.
"Karena itu, kegiatan First Meeting of the Ad Hoc Technical Experts Group on Farmers' Rights ditekankan untuk lebih mempercepat pelaksanaan berbagai kesepakatan internasional ini, terutama yang terkait dengan hak petani atau farmers' rights, ITPGRFA. Intinya, untuk mewujudkan kemandirian pangan dan hak petani," jelasnya.
Menurutnya, Indonesia telah melakukan beberapa hal untuk merealisasikan kesepakatan ini. Antara lain dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012 yang mengamendemen Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Melalui amendemen ini, negara memberikan hak kepada perorangan petani kecil untuk dapat melakukan pencarian dan pengumpulan SDG tanpa perlu izin pemerintah. Petani kecil juga dapat mengedarkan varietas hasil pemuliaan petani dalam lingkungan terbatas tanpa proses pelepasan oleh pemerintah.
Lebih lanjut, Erizal mengungkapkan pertemuan yang berlangsung selama empat hari ini merumuskan rekomendasi tentang berbagai upaya untuk merealisasikan hak petani seperti yang diamanatkan Treaty pada artikel 9.
Perdebatan yang panjang juga terjadi dalam pertemuan tersebut karena upaya dalam banyak hal tidak sejalan dengan kepentingan industri perbenihan, terutama industri benih dari negara yang tergabung dalam International Union for the Protection of New Varieties of Plant (UPOV).
"Upaya harmonisasi kepentingan petani dan industri benih merupakan salah satu inti rumusan pertemuan. Indonesia mendukung penuh upaya ini karena dalam praktiknya Indonesia sudah memberikan perhatian yang seimbang kepada hak petani dan industri benih, dalam hal ini berupa hak pemulia atau Breeder Right," ungkap Erizal.
Perlindungan Varietas Tanaman atau Hak PVT, ungkap Erizal, dapat memberikan perlindungan kepada hasil pemuliaan yang dilakukan pemulia dan industri benih. Sementara itu, negara juga mengakui hak-hak petani secara komunal dalam pelestarian SDG melalui pendaftaran varietas lokal.
"Bagi petani yang mengembangkan kegiatan pemuliaan, Pusat PVTPP bersama Balitbangtan melakukan pendampingan agar varietas yang dihasilkan petani dapat dilepas sejalan dengan aturan yang berlaku serta dapat diberikan Hak Perlindungan Varietas," tegas Erizal.
Perlu diketahui, hasil kesepakatan awal dari pertemuan ini terdiri dari beberapa butir usulan. Draft kesepakatan ini pun akan terus didiskusikan melalui forum ini dan on-line discussion.
Pada akhirnya, hasil kesepakatan ini akan disampaikan kepada seluruh negara anggota untuk disepakati dalam pertemuan Governing Body dari ITPGRFA yang akan digelar pada 2019 di FAO-Roma.
Sementara itu, kegiatan ini dihadiri oleh 39 peserta yang mewakili tujuh kawasan di dunia, perwakilan petani, masyarakat sipil, dan perwakilan organisasi seperti International Union for the Protection of New Varieties of Plant (UPOV) dan International Seed Federation (ISF). Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh 36 peserta lainnya sebagai pengamat atau observer dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI). (ega/hns)