Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan angka ini lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya seperti India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki yang mengalami pelemahan hingga 40%.
"Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan dengan volatilitas yang terjaga, sejalan dengan mata uang peers akibat berlanjutnya penguatan mata uang dolar AS," ujar Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (27/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BI tidak akan segan lakukan stabilisasi dalam mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah, stabilitas dalam arti volatilitasnya, bukan levelnya," jelasnya.
Baca juga: Rupiah Loyo, IHSG Menguat ke 5.929 |
Bank Sentral juga memastikan, nilai tukar rupiah juga akan tetap berjalan sesuai dengan mekanisme pasar.
"Secara prinsip sepanjang mekanisme berjalan, suplply and demand berjalan, nilai tukar rupiah akan banyak dipengaruhi mekanisme pasar," tambahnya.
Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,05% pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level Rp 14.905 per dolar AS.
Untuk memperkuat stabilitas Rupiah, kenaikan suku bunga tersebut juga didukung oleh kebijakan untuk memberlakukan transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) dalam rangka mempercepat pendalaman pasar valas serta memberikan alternatif instrumen lindung nilai bagi bank dan korporasi.
Transaksi DNDF adalah transaksi forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara netting dalam mata uang Rupiah di pasar valas domestik.
Kurs acuan yang digunakan adalah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) untuk mata uang dolar AS terhadap Rupiah dan kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk mata uang non-dolar AS terhadap Rupiah.
Transaksi DNDF dapat dilakukan oleh Bank dengan nasabah dan pihak asing untuk lindung nilai atas risiko nilai tukar Rupiah, dan wajib didukung oleh underlying transaksi berupa perdagangan barang dan jasa, investasi dan pemberian kredit Bank dalam valas. (kil/dna)