Hitung Data Luas Panen, Kementan Sambut Baik Metode KSA BPS

Hitung Data Luas Panen, Kementan Sambut Baik Metode KSA BPS

Robi Setiawan - detikFinance
Kamis, 11 Okt 2018 16:11 WIB
Foto: Dok Kementan
Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menyambut baik adanya metode baru dalam perhitungan luas panen, yaitu Kerangka Sampel Area (KSA) yang sedang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Adanya KSA dianggap merupakan upaya perbaikan data pangan.

Metode ini sudah diujicobakan dan diterapkan sejak 2016 di Garut dan Indramayu, serta keseluruhan pulau Jawa pada 2017, kecuali DKI Jakarta. Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementan Ketut Kariyasa pun berharap hasil dari KSA dapat secepat mungkin dirilis.

"Namun yang perlu dicatat bahwa sekalipun dengan menggunakan metode KSA, melalui program-program terebosan yang sedang dijalankan pemerintah melalui Kementan, kami yakin produksi padi atau beras dalam negeri akan tetap lebih besar dari kebutuhannya," kata Ketut dalam keterangan tertulis, Kamis (11/10/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Selanjutnya menurut Ketut, terkait data luas panen, dalam pelaksanaannya pencatatan luas panen adalah berdasarkan laporan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) atau Mantri Tani, yang tahu betul tentang jumlah luas panen riil yang ada di wilayah kerjanya.

"PPL atau Mantri Tani pada saat melaporkan atau mencatat tidak mendapat tekanan dari siapa pun untuk melaporkan lebih dari yang sebenarnya," pintanya.

Sementara itu, terkait dengan produksi beras dalam memenuhi kebutuhan nasional, Peneliti Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor (IPB), Pri Menix Dey menilai berbagai program Kementan hingga saat ini telah terbukti mampu meningkatkan produksi pangan secara nyata.

Lebih lanjut menurutnya, tidak hanya berhenti pada peningkatan produksi, program terobosan tersebut juga telah mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga stabilitas harga pangan pada tingkat yang wajar.

"Faktanya, melihat data BPS hasil rapat koordinasi bersama Kementan, pada 2014 produksi padi di Indonesia mencapai 70,8 juta ton gabah kering giling. Produksi padi 2015 dan 2016 hingga 2017 pun terus mengalami peningkatan yakni masing-masing 75,4 juta ton, 79,4 juta ton dan pada pada 2017 naik menjadi 81,1 juta ton gabah kering giling," ungkap Pri Menix.

Dirinya menjelaskan, peningkatan produksi ini selain disebabkan adanya perbaikan produktivitas, pada saat yang sama juga terjadi peningkatkan luas panen yang disebabkan adanya peningkatan indek pertanaman, khususnya pada lahan-lahan yang tidak berkompetisi dengan tanaman lainnya.

"Kita sudah cek, misalnya lahan pertanian di Jawa Barat, banyak lahan sawah yang dulu hanya satu kali tanam, tapi sekarang bisa dua hingga tiga kali tanam," sambungnya.

Koordinator Nasional Indonesia Food Watch (IFW) ini pun menegaskan peningkatan produksi padi pun terus terjadi pada tahun ini. Berdasarkan data Angka Ramalan (ARAM) I 2018 BPS, produksi padi diperkirakan juga meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 83,0 juta.

Mengacu data produksi tersebut, dirinya berpendapat diperkirakan pada 2018 produksi beras mencapai 48 juta ton, sementara kebutuhan beras dalam negeri sekitar 30 hingga 33 juta ton per tahun.

"Artinya apa? Ini menunjukkan produksi dalam negeri sudah jauh melebihi kebutuhan dalam negeri. Stok beras tidak hanya ada di gudang Bulog, tetapi juga ada di rumah tangga, industri, hotel, restoran, dan katering. Sehingga pada dasarnya kita tidak perlu impor," ujarnya.

"Bahkan dengan produksi sebesar itu, kita masih punya cukup banyak kelebihan beras untuk memenuhi kebutuhan tahun depan," sambungnya.

Terkait keakuratan data produksi di atas, Pri Menix menilai tidak ada keraguan terhadap data produksi beras yang disajikan pemerintah saat ini. Pasalnya, terlepas dari keterbatasannya, metode pengumpulan data produksi padi yang masih dipakai saat ini sudah lama ditentukan secara bersama-sama oleh BPS dengan Kementan.

Dirinya melanjutkan, baik sebelum 2015 maupun sampai saat ini metode tersebut tidak berubah, yaitu tetap berpedoman pada survei pertanian yang telah disepakati BPS dan Kementan.

"Artinya, data yang dikumpulkan juga merupakan hasil pengolahan BPS kemudian disinkronisasikan pada rapat pembahasan Angka Tetap, Angka Sementera, Angka Ramalan yang dihadiri oleh semua perwakilan BPS pusat dan provinsi serta dinas-dinas pertanian seluruh Indonesia," tegasnya.

Pri Menix pun menilai upaya pemerintah saat ini yang secara terus menerus untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri untuk memenuhi kebutuhannya merupakan pilihan yang bijak.


Menurutnya, dengan kondisi pasar beras dunia yang tipis yakni beras yang diperdagangkan tidak lebih dari 10% dari total produksi beras dunia, maka bagi Indonesia yang berpenduduk cukup besar dengan tingkat partisipasi konsumsi beras hampir 100%, pemenuhan kebutuhan beras yang bergantung pada impor sangat riskan terhadap ketahanan pangan nasional.

"Tak hanya itu, pada kondisi nilai tukar rupiah yang melemah, pilihan memperkuat produksi dalam negeri dan mengurangi atau bahkan tidak impor akan dapat menjaga agar nilai tukar rupiah tidak semakin terpuruk dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," terangnya.

Karena itu, menurutnya upaya memperkuat produksi dalam negeri dengan menerapkan inovasi teknologi yang berbasis pada keunggulan komparatif dan sumber daya setempat, serta perbaikan efisiesi biaya produksi merupakan pilihan yang bijak.

"Tentu upaya ini juga sebagai ujung tombak mensukseskan Nawacita Presiden Jokowi yakni membangun negara dari pinggiran," pungkasnya. (ega/hns)

Hide Ads