Soal Data Beras, Dosen IPB: Sejak Zaman Orde Baru di BPS

Soal Data Beras, Dosen IPB: Sejak Zaman Orde Baru di BPS

Moch Prima Fauzi - detikFinance
Rabu, 24 Okt 2018 22:20 WIB
Foto: Dok Kementan
Jakarta - Beberapa waktu lalu Wapres Jusuf Kalla mengatakan selama ini data produksi beras dengan kondisi di lapangan tidak sesuai. Ketidaksesuaian data ini terjadi sejak 1997 antara BPS, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Informasi Geospasial, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Meski begitu Pengamat Ekonomi Politik Pertanian sekaligus Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi, menilai data Kementan tentang beras bersumber dari BPS dengan metode eyes estimate. Sedangkan data terbaru yang dirilis juga dari BPS dengan Metode KSA (Kerangka Sampel Area)


"Sejak zaman orde baru sampai sekarang data pangan satu pintu di BPS. Kementan tidak mengolah data pangan. Semua rilis data Kementan logikanya berasal dari BPS," kata Gandhi di Bogor, Rabu (24/10/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya sejak dahulu hingga saat ini BPS mendata metode eyes estimate kemudian mengolah dan merilis data pangan. Sementara sejak 2016 BPS tidak merilis data pangan karena menunggu perbaikan data dengan KSA.

"Data BPS metode eyes estimate itu lah yang dirilis Kementan dan disajikan. Jadi data yang dimiliki dan ada di laman Kementan itu 100% adalah data bersumber BPS. Tapi BPS rilis untuk intern," terang Gandhi.


Meski begitu, terlepas dari diskursus metode penghitungan ini, ia mengatakan diversifikasi pangan dan mengurangi impor bahan pangan pokok harus tetap dijaga.

"Jangan sampai data berkurangnya luas lahan panen menjadi alasan dibukanya keran impor sebesar-besarnya menjelang Pilpres 2019" tandasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyatakan ketidaksepakatannya terhadap data beras yang baru saja dirilis pemerintah. Menurutnya surplus beras seharusnya lebih besar dari 2,85 juta ton jika menghitung stok di rumah tangga petani sebanyak 15 juta keluarga atau setara 6,2 juta ton pada 2017. (ega/hns)

Hide Ads