Soal metode baru tersebut, Kementerian Pertanian menghargai BPS untuk melakukan pembenahan data produksi beras. Namun Menurut Direktur Serealia, Kementerian Pertanian (Kementan), Bambang Sugiharto masih ada beberapa faktor kritis yang masih perlu diuji meskipun data dasar yang digunakan telah menggunakan teknologi satelit. Faktor pertama adalah belum melihat deliniasi polygon lahan sawah yang dipetakan dan mencocokkan dengan kondisi lapangan.
"Kedua kita juga menilai ada hal yang kurang logis dari hasil perhitungan metode baru ini," ujar Bambang dalam keterangan tertulis, Kamis (25/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang melanjutkan, dengan metode baru ini tahun 2018 produksi beras diperkirakan hanya surplus 2,85 juta ton. Menurutnya angka ini dinilai terlalu underestimate.
"Jika surplus beras dihitung dari cadangan yang dipegang Bulog dan cadangan beras di masyarakat, maka perhitungan surplus ini menjadi kurang masuk akal," ucapnya.
Menurut catatan Bulog, kata Bambang, sampai bulan Oktober ini pengadaan beras dalam negeri telah mencapai 1,5 juta ton. Dari jumlah tersebut 700 ribuan ton sudah dipakai untuk beras rastra, operasi pasar dan bantuan bencana alam.
Sehingga sisa cadangan beras pengadaan dalam negeri saat ini sekitar 800 ribu ton. Selain beras tersebut, Bulog juga memegang cadangan beras kelas premium sebesar 150 ribu ton.
Untuk itu, Bambang menjelaskan dari pengadaan beras dalam negeri Bulog saat ini memegang sekitar 950 ribu ton. Jika disebutkan angka surplus beras hanya 2,85 juta ton, maka cadangan beras yang berada di masyarakat atau rumah tangga hanya 1,9 juta ton.
Lebih lanjut Bambang mengatakan jika diasumsikan jumlah rumah tangga di Indonesia sebesar 100 juta KK maka cadangan surplus beras yang di rumah tangga hanya 19 kg per KK per tahun.
"Ini tidak masuk akal, tahun 2015 kalau tak salah BPS telah melakukan survei surplus beras di rumah tangga mencapai 7,5 kg per bulan atau 90 kg per tahun. Ini satu hal yang menunjukkan metode baru tersebut masih tetap perlu diuji validitasnya, logika modelingnya," tandas Bambang.
Ia juga turut mengomentari kritikan soal data beras yang disebut sebagai data palsu. Padahal menurut dia, Kementan mengacu pada data BPS.
"In fact data yang dirilis Kementan berbasis data dari BPS juga. Dan gampang saja menguji validitas data produksi beras. Lihat saja di pasar, beras sampai sekarang masih tersedia melimpah, dengan harga kisaran dari Rp 8000 per kilogram. Ini menunjukkan memang terjadi surplus beras. Saya itu setiap hari berangkat kerja dari Ciputat melewati empat kios beras, saya lihat stok beras selalu menumpuk," pungkas dia. (mul/ega)