Kementerian Pertanian (Kementan) telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong ekspor terutama agar sesuai dengan standar kesehatan melalui sertifikasi agar diterima negara-negara tujuan.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita mengatakan salah satu yang berpengaruh dalam ekspor produk hewan adalah status kesehatan peternakan. Untuk mendapatkan persetujuan dari negara calon pengimpor tidaklah mudah, karena telur dan daging ayam harus berasal dari peternakan yang telah mendapatkan sertifikat.
"Sertifikat itu adalah kompartemen bebas wabah avian influenza (AI) dan sertifikat veteriner yang telah dikembangkan pemerintah," ungkap I Ketut dalam keterangannya, Jumat (26/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak 4 tahun belakangan, penerapan sertifikat kompartemen bebas sertifikat veteriner oleh pemerintah berhasil membuka kembali keran ekspor," katanya.
Data Kementan mengatakan saat ini produksi ayam ras pedaging nasional mengalami surplus dibandingkan kebutuhan nasional. Produksi ayam ras pada 2017 sebanyak 1.848.061 ton, sedangkan potensi produksi daging ayam di 2018 sebanyak 3.382.311 ton.
Dengan proyeksi kebutuhan dalam negeri sebanyak 3.051.276 ton, maka surplus sekitar 331.035 ton. Untuk produksi telur ayam ras tahun 2017 sebanyak 1.527.135 ton, sedangkan potensi produksi telur di 2018 meningkat pesat menjadi 2.562.342 ton.
"Proyeksi kebutuhan telur di tahun 2018 sebanyak 1.766.410 ton, sehingga surplus sebanyak 795.931 ton," tutur dia.
Menurutnya, melimpahnya produksi ini menjadi kesempatan untuk mendorong ekspor, dengan jaminan kualitas dan kesehatan. Ekspor telur ayam tetas ke Myanmar pada 2015 - Oktober 2018 misalnya, jumlah kumulatif yang sudah diekspor sebanyak 11.003.358 butir dengan nilai Rp 117,04 miliar.
"Untuk ekspor produk olahan daging ayam mulai dilakukan pada 2016 - September 2018 sebanyak 118,81 ton dengan nilai Rp 9,5 miliar. Negara tujuan ekspornya meliputi Jepang, Australia, Hong Kong, Timor Leste, Qatar, India, PNG, Saudi Arabia, Singapura dan Korea Selatan," bebernya.
I Ketut menjelaskan walau saat ini Indonesia belum bebas wabah AI, namun sudah bisa mengekspor daging ayam olahan melalui proses pemanasan kurang lebih 70oC selama sekitar 1 menit. Hal ini dilakukan karena Indonesia ingin membuktikan keseriusan dalam menerapkan sistem biosecurity berbasis kompartemen bebas wabah AI, sekaligus memenuhi standar dan aturan internasional untuk bisa tembus ke pasar internasional.
Tak hanya itu, saat ini Kementan juga melakukan restrukturisasi perunggasan. Terutama untuk unggas lokal di sektor 3 dan 4 yang menjadi sumber utama outbreak wabah AI.
"Ditjen PKH terus berusaha untuk membangun kompartemen AI dari penerapan sistem biosecurity, yang awalnya hanya 49 titik, kini berkembang menjadi 143 titik. Serta 40 titik lagi sedang dalam proses sertifikasi," ucapnya.
Disebutkan I Ketut, Kementan juga mendesain kegiatan ini agar peternak lokal dapat menerapkan beberapa kompartemen ini sehingga bisa diakui negara lain. Dengan terbentuknya kompartemen, maka Indonesia dapat terus ekspor.
Selain itu, Kementan juga menyebutkan sertifikat veteriner juga penting untuk dikembangkan. Hal ini merupakan bentuk penjaminan pemerintah terhadap pemenuhan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan pangan produk hewan.
"Sertifikat ini menjadi suatu keharusan bagi setiap unit usaha yang akan mengekspor produk hewannya," imbuh I Ketut.
Lebih lanjut, I Ketut mengungkapkan perkembangan ekspor produk peternakan ini juga menjadi bukti bahwa Indonesia bisa ikut bersaing dengan negara lain. Yakni dalam memproduksi daging dengan kualitas premium dan sesuai dengan persyaratan internasional.
"Daya saing lainnya yang dimiliki untuk produk pangan dari Indonesia adalah sertifikasi Halal, produk pangan Indonesia mempunyai peluang untuk ekspor ke negara Timur Tengah dan negara muslim lainnya," tutup dia. (ega/hns)