Menanggapi pernyataan tersebut, pengamat ekonomi Suropati Syndicate, Muhammad Ardiansyah Laitte mengapresiasi atas dirilisnya data beras terbaru tersebut yang tentunya akan berdampak pada kebijakan pemerintah dalam hal impor beras. Namun, Alumnus Magister Universitas Indonesia ini menilai bahwa pemerintah tak perlu impor lagi. Ia yakin karena data tersebut masih secara nasional, belum pada tahap ke daerah.
"Saya apresiasi telah dirilis data beras terbaru. Ini akan mengakhiri polemik tentang beras. Tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan BPS," ujar pria yang biasa disapa Alle di Jakarta, Jumat (26/10).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Publik menunggu data detil untuk dasar kami memantau fakta lapang. Berikutnya perlu segera dihitung angka mundur hingga 10 atau 20 tahun terakhir dan disebarkan ke publik dan lembaga dunia," terang Alle.
Alle menambahkan beberapa hal menjadi catatan luas panen, yakni apabila menggunakan data luas baku sawah 7,1 juta hektar, lantas bagaimana nasib fakta petani tanam padi diluar luas baku sawah, tidak dihitung. Ada banyak padi ladang, padi gogo dan rawa yang ditanam di tegalan/kebun, huma/ladang, belukar, rawa, areal hutan dan areal sementara tidak diusahakan.
"Apakah diabaikan, padahal luasnya sangat signifikan," imbuhnya.
Namun demikian, Alle menegaskan data surplus beras ini layak diapresiasi karena menunjukkan ada dampak dari program-program pertanian. Surplus 2,85 juta ton artinya produksi berlebih dan melimpah dibandingkan konsumsi.
"Jelas jelas mubadzir atau sia-sia itu impor beras 2 juta ton. Sekarang ini publik bertanya-tanya mengkaitkan antara rilis data dengan impor ini. BPS ikut-ikutan bicara impor, ada apa ini? BPS ya agar fokus pada data saja," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Alle menilai kebijakan dan realisasi impor ini harus dievaluasi. Impor hanya membuang-buang devisa dan merugikan petani. Bahkan, impor bertentangan dengan upaya pemerintah saat ini yang terus mendorong ekspor di tengah situasi sulit menghadapi perang dagang (trade war) yang terjadi saat ini.
"Waktu lalu ada yang bilang, bila tidak impor akan tewas kita. Ya jangan begitulah. Ini data sudah surplus, jadi tidak bakalan tewas. Justru sebaliknya, bila tidak impor akan tewas para pehobby impor itu," tuturnya.
Lebih lanjut Alle menjelaskan agar fair mendapat data yang diinginkan untuk menyelesaikan masalah, metode KSA harus dikombinasikan dengan Sensus Beras. Cukup sekali Sensus bisa dijadikan pijakan data yang kredibel dan valid.
"Metode KSA bisa dianggap sebagai menyelesaikan masalah dengan menyisakan masalah pula jika tidak dilengkapi dengan sensus, maupun pendataan terbaru sebaran stock beras di petani, penggilingan, gudang, paaar dan pedagang, di konsumen, warung hotel dan restoran dan tercecer," jelasnya.
"Saya setuju dengan Kepala BPS bahwa stok sebagian besar ada di rumah tangga yang sulit dikendalikan bila dibutuhkan pemerintah. Tapi Kepala BPS tidak menyajikan angka stocknya Survei Kajian Cadangan Beras (SKCB) 2015 itu sehingga seolah tidak gamblang," pintanya.
Alle mengungkapkan hasil survei SKCB BPS 2015 itu di 31 Maret 2015 ada stok beras 7,97 juta ton, lalu 31 Juni stok 10,02 juta ton dan 30 September 2015 stok 8,85 juta ton. Dengan begitu, stok sangat tinggi berkisar 7,9 hingga 10 juta ton. Bahkan beberapa kali Sucofindo survei sejak 2007 hingga 2012, stock beras berkisar 6 hingga 9 juta ton beras
"Artinya survei BPS 2015 ini menjadi kontradiktif dengan angka surplus metode KSA sebesar 2,85 juta ton. Kelihatan janggal dan berbeda jauh untuk dicermati," ungkap Alle.
Namun demikian, Alle menegaskan jika mengacu data stok beras hasil SKCB BPS maupun data surplus hasil KSA, bukan berarti neraca beras defisit. Pasalnya, program pembangunan pertanian sudah menuju modern sehingga mampu menyediakan pangan ke depannya.
"Jadi jangan percaya bila ada yang bilang neraca beras tidak aman. Saya optimis neraca beras sangat aman hingga tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya mengingat infrastruktur pertanian yang dibangun selama ini semakin kuat. Pondasi pertanian sudah mantap untuk akselerasi," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan data surplus beras itu merupakan hasil perhitungan secara kumulatif, sebab data konsumsi beras memang stabil setiap bulannya sekitar 2,27 juta ton hingga 2,51 juta ton, di sisi lain produksi beras setiap bulan fluktuatif.
"Surplus itu dengan catatan secara kumulatif. Kalau dilihat bulan-bulan tertentu ada yang defisit, seperti pada Oktober sampai Desember itu kita musim tanam, jadi produksi turun. Jadi harus diperhatikan bagaimana kita mengelola stok ini agar harganya stabil," tuturnya di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Baca juga: Perlukah Pemerintah Impor Beras Lagi? |
Selain itu, angka surplus beras itu juga tidak sepenuhnya terpusat. Surplus beras tersebar ke berbagai titik yakni ke rumah tangga produsen, rumah tangga konsumen, pedagang, penggilingan, hotel, Bulog dan sebagainya.
"Jadi surplus menyebar, yang bisa dikelola pemerintah hanya di Bulog. Kalau mengacu survei cadangan beras 44% berada di rumah tangga produsen itu jumlahnya 14,1 juta, kalau 44%-nya sekitar 1,35 juta. Kalau dibagi rumah tangga produsen setiap rumah tangga surplus 7,5 kg," terangnya.
Sehingga, kata Suhariyanto, angka surplus beras tetap harus ditangani dengan hati-hati. Perlu pengelolaan stok yang baik, agar dapat menutupi ketika stok beras mengalami defisit. (ega/hns)