Namun sejak diterbitkan pada September kemarin, baru ada 21 perusahaan yang mendaftar. Angka ini masih jauh dari data asosiasi fintech yang menyebutkan di Indonesia ada sekitar 167 perusahaan.
"Baru 21 perusahaan yang mendaftar, lalu akan kita masukan dalam suatu kajian untuk melihat bidang mereka apa aja. Kendala yang ada malah di antara yang belum mendaftar karena memang belum ada, belum tahu barangkali peraturan sudah ada atau masih berpikir apakah persyaratan mendaftar atau belum," ujarnya kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida di Wisma Mulia 2, Jakarta, Jumat (2/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam aturan ini bagi fintech yang ingin mendaftarkan diri diharuskan memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya harus berbadan hukum lembaga jasa keuangan, penyelenggara harus berbentuk PT atau korporasi dan penyelenggara tidak boleh mengelola portofolio atau eksposur.
Sementara untuk kelengkapan dokumen ada 6 poin, yakni formulir pengajuan permohonan pencatatan, salinan akta pendirian badan hukum beserta identitas, penjelasan secara singkat mengenai produk, data dan informasi lainnya terkait IKD (industri keuangan digital), rencana bisnis, serta surat tanda terdaftar dari asosiasi.
Sementara untuk alurnya, perusahaan fintech melakukan pencatatan, lalu masuk dalam proses regulatory sandbox. Di tahap kedua itu nantinya akan keluar rekomendasi apakah lolos untuk pendaftaran atau harus ada yang diperbaiki.
"Saat ini syarat sederhana mereka masuk dulu, habis itu kita ada tahap membina, masuk sandbox. Jadi itu yang kita lihat, kembali lagi tantangan adalah bahwa mungkin belum terlalu banyak POJK ini. Jadi langkah di OJK adalah lebih banyak sosialisasi masif lagi dan memang betul bahwa yang sekarang masih di pulau Jawa dan Jakarta. Padahal potensi membangun dan IKD ini bisa berkembang mencatatkan diri di luar Jawa di seluruh Indonesia," tutupnya. (das/ara)