Bertani Sayur di Pinggir Bandara, Pemuda Ini Raup Rp 100 Juta/Hari

Bertani Sayur di Pinggir Bandara, Pemuda Ini Raup Rp 100 Juta/Hari

Akfa Nasrulhak - detikFinance
Kamis, 08 Nov 2018 12:43 WIB
Foto: Dok Kementan
Jakarta - Direktur Jenderal Hortikultuta Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi meninjau lahan pertanian perkotaan seluas 26 hektare yang dikelola petani muda di Kampung Rawa Lini, Teluk Naga, Tangerang, Banten, Rabu (7/11/2018). Lahan yang letaknya 2 km dari Bandara Soekarno Hatta (Soetta) ini ditanami dengan 30 jenis komoditas sayuran dan melon.

Saat melihat lahan pertanian tersebut, Suwandi memuji usaha petani muda dalam memanfaatkan lahan yang semulanya lahan tidur dan ditumbuhi semak belukar menjadi lahan pertanian produktif. Oleh karena itu, Suwandi pun mendorong agar para pemuda tani di daerah lainnya bisa bangkit untuk menjadi petani sukses.


"Ini luar biasa. Ada pemuda yang berhasil bertani dengan sistem modern di lahan perkotaan. Ada 30 jenis sayuran plus melon. Hasil panennya dijual di berbagai pasar tradisional Jabodetabek dan pasar ritel. Bahkan melon rencananya mau diekspor. Pasarnya sudah ada, ke Hongkong. Ini perlu ditularkan ke pemuda lain," ujar Suwandi, dalam keterangan tertulis, Kamis (8/11/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagas Suratman (37), adalah sosok petani muda di Tangerang tersebut. Dia mengungkapkan mulai bertani sejak 2004, di mana sebelumnya bekerja sebagai supir angkutan umum tidak tetap bahkan dikenal preman. Awalnya, terjun menjadi petani hanya coba-coba tetapi lambat laun usahanya menanam sayuran menghasilkan pendapatan yang cukup besar.

"Sekarang pendapatan per harinya mencapai Rp 100 juta. Pendapatan ini diperoleh dari empat supermarket seperti superindo, Alfamidi, Carrefour sebagai mitra usahanya. Sayuran juga dipasok ke berbagai pasar tradisional di Jabodetabek," ungkap Bagas.

Bagas menjelaskan sayuran yang dibudidayakan di antaranya adalah daun pepaya, singkong, kangkung, bayam, caisim, katuk. Setidaknya ada 30 item sayur lebih di lahan 26 hektare. Lahan tersebut milik perusahaan kemudian disewa Rp 10 juta per tahun.

"Di sini kami bermitra dengan 40 orang petani yang mengolah lahan 26 hektare. Kami panen setiap harinya untuk menyuplai empat supermarket," jelas Bagas.

"Untuk melon, harganya Rp 10 ribu per kg. Pemasaran tidak masalah, biaya produksi Rp 150 juta per hektare. Produksi 25 ton per hektare Minimal keuntungan Rp 50 juta sampai Rp 100 juta per hektare per musim. Masa tanam selama 70 hari," tambahnya.

Adapun harga sayuran per ikat cukup kompetitif. Misalnya untuk caisim Rp 2.200/ikat, kenikir Rp 2.500/ikat, daun singkong Rp 1.500/ikat, daun pepaya Rp 2.500/ikat, daun bayam Rp 2.200, dan daun katuk Rp 3.000/ikat.

"Untuk memenuhi pasokan, saya satu tahun libur hanya sehari, pas malam takbiran," sebut Bagas.

Lebih lanjut, Bagas menjelaskan setiap harinya ia mempekerjakan 15 orang dan pada bulan puasa biasa mencapai 30 orang. Prinsipnya yaitu menggerakkan lapisan masyarakat lain, sehingga pegawai dari lingkungan setempat.

"Ini sebagai solusi pekerjaan. Ibu-ibu yang ngiketin sayur, yang laki-laki bisa packing house," jelasnya.

Bagas menuturkan awal usaha budidaya miliknya adalah melalui otodidak. Ia bergabung dengan komunitas petani lain di nusantara untuk mempelajari hal-hal seputar budidaya.

"Saya positive thinking di pertanian ini. Berawal dari kecil tapi bertahan. Sekarang meningkat lebih eksklusif di melon. Cabai dan aneka sayur lainnya sudah dicoba," terangnya.


Bagas merasakan betul dampak bertani. Sejak bertani, kehidupan ekonominya kian meningkat. Bahkan 7 orang teman supirnya kini sudah mampu memiliki mobil sendiri.

Di akhir pertemuan, dirinya berharap agar semakin banyak dicetak petani muda. Anak muda harus bergerak untuk berkarya membangun pertanian yang lebih maju.

"Kalau pemuda sudah bertanam maka pasokan pangan akan aman. Kami berharap pemerintah juga turut membantu," tutupnya. (ega/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads