Kisah gejolak ekonomi diawali pemerintah orde lama tak bisa mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di pengujung 1950-an. Imbasnya inflasi meroket inflasi (hiperinflasi) mencapai 635% di 1966.
Pemerintah orde baru mampu meredam hiperinflasi itu. Franciscus Xaverius Seda (Menteri Keuangan 1966-1968) menjadi aktor utama di balik upaya menekan inflasi menjadi 112%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Frans mengatasi permasalahan ekonomi saat itu dengan cara menerapkan model anggaran penerimaan dan belanja yang berimbang. Hal itu untuk meredam imbas dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang rajin mencetak uang.
Upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru terbilang berhasil saat itu, dan ekonomi Indonesia mulai stabil. Selanjutnya, menurut data Bank Indonesia, tingginya harga minyak di pasar internasional 1973 mendatangkan pendapatan besar bagi pemerintah. Besarnya pemasukan negara dari sektor minyak, membuat pemerintah orde baru memiliki amunisi untuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan saat mengarah pada tujuan sosial.
Kondisi itu memungkinkan pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah.
Pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.
Pemerintah Orde Baru kembali berbenah dengan melakukan program stabilisasi. Pada 1974/1975 inflasi pun turun menjadi 21%.
Kondisi itu memberi peluang Pemerintah untuk menurunkan suku bunga deposito dan kredit jangka pendek terutama ekspor dan perdagangan dalam negeri pada Desember 1974 guna mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi pelonggaran itu justru menimbulkan tekanan inflatoir sehingga mengakibatkan lemahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri karena nilai rupiah menjadi over valued.
Loncat hingga ke penghujung pemerintahan Orde Baru ketika mulai terjadi tanda-tanda krisis ekonomi sejak 1997. Gelombang dimulai dari Thailand, meskipun Indonesia saat itu belum terlihat gejala krisisnya.
Saat itu banyak dari perusahaan nasional yang memiliki utang di luar negeri. Rupiah mulai melemah pada Agustus 1997. Dunia usaha mulai panik.
Memasuki pertengahan 1997 Indonesia pun meninggalkan sistem kurs terkendali. Penyebabnya, cadangan devisa Indonesia rontok karena terus-terusan menjaga dolar AS bisa bertahan di Rp 2.000-2.500.
Setelah memakai kurs mengambang, dolar AS secara perlahan mulai merangkak ke Rp 4.000 di akhir 1997, lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998. Setelah sempat mencapai Rp 13.000, dolar AS sedikit menjinak dan kembali menyentuh Rp 8.000 pada April 1998. Di Mei 1998 Indonesia memasuki periode kelam.
Penembakan mahasiswa, kerusuhan massa, dan kejatuhan Orde Baru membuat rupiah 'terkapar' lagi. Dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di Rp 16.650 pada Juni 1998. Anjloknya nilai tukar dan geger ekonomi membuat inflasi 1998 melambung menjadi 77,63%. Pertumbuhan ekonomi di 1998 bahkan -13%. (das/hns)