Pergeseran harga minyak baru-baru ini telah memangkas lebih dari sepertiga dari harganya. Dikutip dari CNN pada Jumat pagi (30/11/2018), minyak mentah jatuh lebih dari 1% pada Kamis lalu ke level US$ 49,41 per barel.
Terakhir kali harga minyak menyentuh angka di bawah US$ 50 adalah pada 4 Oktober 2017. Kemudian pada pertengahan pagi harganya naik kembali ke atas US$ 51.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekhawatiran tentang kelebihan pasokan minyak membuat harganya terjun dengan bebas. Dalam empat tahun terakhir minyak mentah mencapai harga tertinggi pada angka US$ 76 per barel atau sekitar Rp 1 juta, kurang dari dua bulan yang lalu.
Melihat situasi kenaikan harga minyak ini investor berharap pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman pada KTT G20 berbuah positif. Investor ingin dua kepala negara ini mencapai kesepakatan tentang pemangkasan produksi pada pertemuan tersebut.
Namun Putin mengatakan pada hari Kamis, harga minyak yang saat ini tertekan cocok untuknya (negaranya). Pernyataan ini diharapkan dapat membuat pengurangan produksi minyak Rusia terus berlanjut.
Hal ini pun dikuatkan oleh laporan Reuters yang melaporkan bahwa Rusia menjadi semakin yakin bahwa mereka perlu memangkas produksi seiring dengan OPEC. Hal itu cukup untuk menyeimbangkan harga minyak dunia.
Namun, investor masih khawatir produksi minyak AS meningkat karena kegiatan ekonomi di luar negeri melambat. Ketika harga minyak naik awal tahun ini, produksi minyak mentah disana justru melonjak. Bahkan, mereka berhasil melewati Arab Saudi untuk menjadi produsen minyak terbesar di dunia.
Harga bensin AS pun juga mulai turun sebesar 11%. Menurut AAA (Federasi Kendaraan Bermotor Amerika/American Automobile Association) satu galon minyak turun rata-rata sebesar 30 sen selama sebulan terakhir. (zlf/zlf)