-
Calon Presiden (Capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto tak henti-hentinya menyoroti masalah utang. Kali ini, ia bicara mengenai utang yang ditanggung masyarakat.
Menurut Prabowo, setiap bayi yang baru lahir saja telah memiliki utang. Dia bilang, tiap bayi lahir menanggung utang Rp 9 juta.
Oleh karena itu, Prabowo menyatakan tak akan kalah dalam pemilihan presiden (Pilpres) tahun depan. Dia berjanji akan mengubah sistem yang selama ini dianggap melemahkan Indonesia.
Prabowo mengatakan, berdasarkan analisis tim ekonomi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Fuad Bawazier pendapatan per kapita masyarakat hanya mencapai US$ 1.900 per tahun. Seharusnya, pendapatan per kapita sebesar US$ 4.000.
"Saudara sekalian, para ahli mengatakan penghasilan kita per kapita adalah sekitar US$ 4.000 per tahun. Tapi dari US$ 4.000 itu, 49%, setengahnya, dikuasai oleh 1% rakyat kita," katanya dalam acara Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Senin (17/12/2018).
"Jadi, kalau kita cabut yang 1%, kekayaan penghasilan kita setahun tinggal setengahnya, yaitu US$ 1.900. Itu kata penasihat saya, Pak Fuad Bawazier," sambung Prabowo.
Kemudian, eks Danjen Kopassus menyebut, setiap bayi yang baru lahir telah memiliki utang. Utang itu sekitar US$ 600 atau setara dengan Rp 9 juta.
"Tapi US$ 1.900 dipotong lagi utang. Ya, kita semua punya utang. Bahkan anakmu baru lahir punya utang. Utangnya kurang-lebih US$ 600. Jadi iya, utang kamu itu US$ 600. Kurang-lebih US$ 600 itu, berapa ya? Ya sekitar Rp 9 juta. Anakmu baru lahir, utang sudah Rp 9 juta," kata Prabowo.
Oleh karena itu, dia menegaskan tidak akan kalah dalam Pilpres 2019.
"Karena itu, kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah, negara ini bisa punah. Karena elite Indonesia selalu mengecewakan, selalu gagal menjalankan amanah dari rakyat Indonesia. Sudah terlalu lama elite yang berkuasa puluhan tahun, sudah terlalu lama mereka memberi arah keliru, sistem yang salah," terang Prabowo.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati punya pandangan soal pengelolaan keuangan negara. Menurutnya, utang dikelola dengan baik tidak ugal-ugalan.
"Ugal-ugalan nggak? Pasti tidak. Kecuali kalau ibu-ibu pinjam hanya untuk beli sepatu yang mahal itu pasti ugal-ugalan," kata dia dalam acara Kongres Muslimah Indonesia Ke-2 di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Senin (17/12/2018).
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan, utang yang diambil pemerintah untuk belanja yang bersifat penting. Belanja tersebut seperti untuk pendidikan agar setiap anak bisa sekolah, fasilitas kesehatan, hingga akses infrastruktur.
Dengan belanja tersebut, ekonomi Indonesia akan meningkat dan utang-utang itu sangat memungkinkan untuk dibayar.
"Itu yang kita lakukan dan kalau ekonomi tumbuh dengan tinggi 5% sementara kita pinjamnya hanya 2% pasti kita bayar kembali," terangnya.
Sri Mulyani mengatakan, saat ini publik lebih banyak menyoroti utang daripada aset negara. Padahal, optimalisasi aset negara merupakan sesuatu yang penting.
Menurutnya, aset-aset yang dimiliki negara baik dalam bentuk bangunan maupun tanah harus bisa dioptimalkan agar manfaatnya bisa maksimal dirasakan oleh masyarakat.
"Biasanya aset yang diperoleh dari uang publik (pajak) itu dianggap bukan barangnya dia, sehingga tidak dijaga. Sementara di swasta dibutuhkan resource dan penuh risiko untuk bisa mendapatkan aset, mereka harus menjamin aset itu punya daya guna yang setara," katanya di Kementerian Keuangan.
Untuk itu, manajemen pengelolaan aset negara menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Sebab, aset yang ada bisa dipakai untuk menunjang pertumbuhan ekonomi lebih maksimal.
Salah satu cara untuk mengoptimalkan aset ialah melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). LMAN adalah badan di bawah Kementerian Keuangan yang berfungsi mendukung optimalisasi manajemen aset negara, guna meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial.
Namun Sri Mulyani mengaku heran, publik lebih banyak memperhatikan soal utang negara dibanding mengawasi pengelolaan aset negara. Menurutnya topik optimalisasi aset negara seharusnya lebih mendapat perhatian.
"Publik sekarang sangat dan lebih senang tenaganya habis untuk memelototi utang. Padahal sudah banyak orang yang pelototi utang. Justru harusnya publik lebih banyak melihat kepada aset," kata dia.
"Kalau utang, yang ngutangin saja ngawasin kita. Kita publish setiap bulan, kita tahu perubahan komposisi, kapan jatuh tempo. Tapi aset, which is actually much bigger, kita sering lupa atau belum bisa menyampaikan," tutupnya.