Jokowi Tambah Utang Rp 1.600 Triliun

Kaleidoskop 2018

Jokowi Tambah Utang Rp 1.600 Triliun

Saifan Zaking - detikFinance
Selasa, 25 Des 2018 09:45 WIB
1.

Jokowi Tambah Utang Rp 1.600 Triliun

Jokowi Tambah Utang Rp 1.600 Triliun
Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Foto: Dikhy Sasra
Jakarta - Sepanjang era pemerintahan Jokowi-JK, utang pemerintah bertambah Rp 1.644,22 triliun. Catatan itu menjadi bahan pembahasan hangat di bulan Agustus.

Jumlah tambahan utang tersebut berasal dari perhitungan jumlah utang pemerintah pada 2014 sebesar Rp 2.608,8 triliun, kemudian bertambah menjadi 4.253,02 triliun per Juli 2018.

Utang yang diambil itu, diklaim pemerintah lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan produktif, seperti banyak dialokasikan kepada pembangunan infrastruktur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, cerita soal utang pemerintah yang bertambah ini sempat ramai dibicarakan. Bahkan banyak kritik yang dilontarkan untuk pemerintahan era Jokowi.

Penasaran bagaimana cerita lengkapnya? Simak Kaleidoskop Agustus 2018 yang dirangkum detikFinance.
Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp 4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy).

Komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 323,79 triliun yang tumbuh 6,8% atau dengan persentase sebesar 7,61% dari keseluruhan pinjaman. Kemudian pinjaman multilateral tercatat Rp 411,19 triliun tumbuh 10,77% atau sebanyak 9,67% dari total pinjaman.

Selanjutnya pinjaman komersial sebesar Rp 43,32 triliun minus 0,87% atau sebesar 1,02% dari total pinjaman. Lalu ada pinjaman suppliers sebesar Rp 1,04 triliun atau tumbuh 56,32% dengan persentase 0,03%.

Lebih jauh juga ada pinjaman dalam negeri sebesar Rp 5,79 triliun atau tumbuh 48,28% atau sebesar 0,03%.

"Rasio utang pemerintah per Juli 2018 29,75% terhadap PDB," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman, dalam konferensi pers APBN KiTA di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Pinjaman dari surat berharga negara yang berdenominasi rupiah seperti surat utang negara (SUN) tercatat Rp 2.155,85 triliun tumbuh 10,58% atau sebanyak 50,69% dari total pinjaman. Selanjutnya surat berharga syariah negara yang sebesar Rp 518,67 triliun yang tumbuh 24,88% atau sebesar 12,20%.

Sedangkan untuk surat berharga negara berdenominasi valas atau SUN valas tercatat Rp 692,11 triliun tumbuh 17,95% atau sebanyak 16,27% dari total pinjaman. Kemudian SBSN denominasi valas tercatat Rp 100,89 triliun atau tumbuh 8,18% yoy atau sebesar 2,37% dari keseluruhan pinjaman.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyebut utang yang dimiliki pemerintah merupakan warisan dari masa lalu. Lantas, bagaimana perbandingan utang pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi saat ini dengan pemerintahan sebelumnya?

Bila dibandingkan dengan rasio utang di era Presiden Soeharto, rasio utang saat ini terlihat lebih terkendali. Namun, kondisi utang di era Soeharto dan Jokowi sangat jauh berbeda.

Dari catatan detikFinance, rasio utang di era Soeharto mencapai 57,7% terhadap PDB. Pada 1998 lalu, utang pemerintah berada di kisaran Rp 551,4 triliun, sementara PDB berada di kisaran Rp 955,6 triliun.

Kemudian di era BJ Habibie, rasio utang terhadap PDB melambung tinggi. Saat itu, utang di era Habibie sekitar Rp 938,8 triliun, sementara PDB Rp 1.099 triliun. Sehingga rasio utang terhadap PDB berada di level 85,4%.

Rasio utang itu pun mulai mengalami penurunan di era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur. Saat itu, rasio utang pemerintah turun tipis menjadi 77,2%. Di mana utang pemerintah sebesar Rp 1.271 triliun dan PDB Rp 1.491 triliun.

Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, rasio utang kembali mengalami penurunan. Utang saat era Megawati sebesar Rp 1.298 triliun, sementara PDB Rp 2.303 triliun. Sehingga rasio utang saat itu 56,5% terhadap PDB.

Kemudian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, nilai utang meningkat lebih dari dua kali lipat jadi sebesar Rp 2.608 triliun. Walau nilai utang meningkat dua kali libat, namun nilai PDB saat itu juga mengalami peningkatan yang lebih tinggi.

PDB di era SBY mencapai Rp 10.542 triliun atau meningkat berkali-kali lipat dibanding era sebelumnya. Dengan begitu, rasio utang juga hanya sekitar 24,7% terhadap PDB. Rasio utang itu tercatat jadi yang paling rendah hingga saat ini.

Terakhir di era Presiden Jokowi saat ini, utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp 4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy). Rasio utang terhadap PDB yang saat ini mencapai sekitar Rp 14.000 triliun tercatat 29,74%.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono mengatakan bila dihitung secara kasar, maka utang pemerintah bisa lunas dalam waktu 10,5 tahun. Perhitungan kasarnya, besaran utang Rp 4.200 triliun yang dibagi cicilan setiap tahunnya Rp 400 triliun.

Walau begitu, Tony mengatakan bahwa utang akan terus bertambah setiap tahunnya. Hitungan tersebut merupakan hitungan kasar bila pemerintah tidak mengambil utang setiap tahun.

"Hitung saja utang Rp 4.200 triliun, dicicil Rp 400 triliun setahun. Tapi kan utang nambah terus setiap tahun," kata Tony kepada detikFinance, Jakarta, Sabtu (18/8/2018).

Tony menjelaskan tambahan utang pemerintah setiap tahunnya sebesar 2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sekitar Rp 14.000 triliun. Dengan begitu, secara kasar pemerintah akan tambah utang pertahun sekitar Rp 28 triliun.

Dia juga mengatakan, bahwa pemerintah tidak bisa bila tidak menarik utang setiap tahunnya. Sebab bila itu dilakukan, maka pemerintah akan kehilangan stimulus fiskal.

"Hampir tidak ada negara yang bisa. Kalau nekat dilakukan, kita tidak memiliki stimulus fiskal," kata dia.

Hide Ads