Sebab, kata dia, dalam Undang-Undang Minerba tak mengamanatkan pengakhiran sepihak kontrak karya (KK) maupun perjanjian karya (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B) yang telah ada sebelumnya.
"Dari segi hukum, kami berpegang kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). UU Minerba tidak pernah mengamanatkan pengakhiran sepihak KK maupun perjanjian karya (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B) yang telah ada sebelumnya, melainkan menghormati KK dan PKP2B sampai jangka waktunya berakhir," ujar Hufron dalam keterangan tertulis, Jumat (28/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masih dari segi hukum, dalam ketentuan Pasal 31 KK (jangka waktu) telah ditentukan bahwa PTFI berhak mengajukan perpanjangan sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 tahun setelah kontrak berakhir pada tahun 2021 dan pemerintah tidak dapat menahan atau menunda persetujuan perpanjangan dengan tidak wajar," tegasnya.
Jika hak perpanjangan berupa IUPK tersebut tak diberikan, maka PTFI berpotensi melakukan gugatan sengketa arbitrase internasional. Ia mengatakan, terlepas dari ketidakpastiannya peluang Indonesia untuk menang, sudah pasti nasib ribuan tenaga kerja Indonesia di PTFI dipertaruhkan. Selain itu, ada kemungkinan ketidakpastian penerimaan APBD bagi pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.
Dampak lainnya yang dikatakan Hufron adalah membahayakan kelangsungan tambang. Jika runtuh, maka ongkos sosial ekonominya akan menjadi sangat besar. Sementara jika tidak dilakukan perpanjangan, hal itu juga akan berdampak pada iklim investasi nasional.
"Di bawah rezim KK, menunggu sampai kontrak berakhir tahun 2021 dan tidak memperpanjangnya, selain lebih mahal juga menempatkan kedua pihak dalam situasi lose-lose situation dan memburamkan iklim investasi nasional," lanjutnya.
Ia menambahkan PTFI tidak mungkin didapatkan secara gratis sebab Freeport telah membangun sarana dan prasarana tambang, serta membeli segala peralatan yang dibutuhkan untuk operasi pertambangan.
"Tidak bisa gratis, karena Freeport harus membangun sarana dan prasarana tambang dan membeli segala peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan operasi pertambangan. Dalam rezim hukum pertambangan KK maupun IUP, status kepemilikan seluruh barang modal dan barang produksi dimiliki dan dibiayai sendiri oleh Badan Usaha dalam hal ini PTFI (bukan Barang Milik Negara)," ujarnya.
"Sehingga apabila jalan yang ditempuh adalah mengakhiri Kontrak Karya dan mengambil risiko arbitrase, pemerintah juga tetap harus membeli sarana dan prasarana tambang dan membeli segala peralatan dari PT Freeport Indonesia," pungkasnya.