Menguatnya rupiah disambut baik pengusaha. Ke depan stabilitas nilai tukar rupiah diharapkan bisa terus dijaga meski ketidakpastian masih menjadi tantangan yang membuat hal tersebut masih menjadi tanda tanya.
"Buat kita yang penting naik turunnya. Yang jadi masalah kan karena kita banyak impor dan ekspor," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta Widjaya Kamdani saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (7/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Shinta bilang, stabilitas nilai tukar yang diharapkan berada di level Rp 13.000-an/US$. Shinta berharap nilai tukar ke depan bisa lebih stabil alias tak terus turun naik dalam waktu yang tidak tetap. Lebih lanjut, dolar AS juga diharapkan tak turun terlalu dalam karena akan mempengaruhi ekspor.
"Kalau kita bisa stabil di 13.000-an saja, itu sudah bagus. Asal kita bisa stabil di satu titik, di 13.000 juga bisa banyak membantu kita," katanya.
Baca juga: The Fed Melunak Bikin Rupiah Perkasa |
Penguatan rupiah kali ini merupakan respons dari pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Federal Reserve Jerome Powell pekan kemarin. Pernyataannya memberikan sinyal bahwa The Fed tahun ini tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya, namun kebijakan Presiden AS Donald Trump hingga perang dagang negara Adidaya tersebut dengan China membuat situasi global saat ini masih penuh ketidakpastian.
Stabilitas penting
Shinta mengapresiasi membaiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, namun stabilitas nilai tukar jauh lebih penting dibanding sekedar menyentuh Rp 13.000-an.
"Sebenarnya yang kita lihat volatilitasnya yang naik turun. Ketidakpastian sampai tahun ini pasti akan tetap terjadi karena Presiden AS Donald Trump policy-nya masih belum jelas. Ini tentu saja membuat nilai tukar tidak bisa stabil atau tetap volatile," katanya.
Shinta bilang nilai tukar yang naik turun dalam waktu singkat membuat pengusaha sulit mengambil keputusan. Solusi jangka pendek pun diambil dengan mulai mengurangi ketergantungan mata uang Paman Sam, dimulai dari perdagangan ekspor dan impor.
Bilateral currency swap agreement (BCSA) akan terus diperluas dengan bank sentral negara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam aktivitas perdagangan dan keuangan.
"Karena sekarang ini di Indonesia sendiri ketergantungan kita besar terhadap US$ sementara fed rate naik terus. Dari pada kita berpatok pada ketidakpastian itu sendiri, kita punya solusi seperti penggunaan mata uang asing lainnya dalam bertransaksi secara bilateral," katanya.
Seperti diketahui nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) awal pekan ini mengalami pelemahan terhadap rupiah. Dolar AS terus mengalami tekanan terhadap rupiah sejak pagi hari tadi.
Mengutip data perdagangan Reuters, Senin (7/1/2018), pada pukul 11.50 WIB, dolar AS tercatat sudah berada di level Rp 13.990. (eds/hns)