"Tapi pada saat bersamaan tidak melihat kondisi keuangan negara, apalagi mengukur keberhasilan dari pemanfaatan dana pinjaman tersebut," kata Arif dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pertama memimpin pada 2014, Arif mengingatkan, kantong pemerintah dalam kondisi defisit. Saat itu defisit keseimbangan primer mencapai Rp 93 triliun. Ini artinya, pemerintah harus mencari penambal agar kegiatan pembangunan tidak terhenti. Dengan demikian, menutup warisan anggaran yang bolong itu menjadi suatu keharusan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diumumkan Kementerian Keuangan, defisit keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan dikurangi belanja negara tanpa memasukkan beban pembayaran bunga utang, jumlahnya hanya tersisa Rp 1,8 triliun atau rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,01%. Sementara pada 2014 rasionya masih sebesar 0,88%. Angka ini menjadi yang terendah sejak 2012.
Selain itu, utang pemerintah dicatatkan dalam pos pembiayaan untuk menutup defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang disusun menjadi undang-undang (UU). Dengan kata lain, utang pemerintah sebenarnya merupakan konsensus nasional.
Sejauh ini, pengelolaan utang sudah dijalankan dengan sangat baik. Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30% bahkan jauh dari bawah batas yang ditetapkan undang-undang yang sebesar 60% PDB.
Dibandingkan negara lain pun rasio utang Indonesia masih sangat aman. Sebab rasio utang Filipina terhadap PDB mencapai 37,8%, Thailand 41,9%, Malaysia 543,2%, dan India 70,2%.
Apalagi, selama ini APBN dimanfaatkan juga untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang antara lain tercermin dari belanja pendidikan terus mengalami kenaikan. Pada APBN 2019 sudah mencapai Rp 492,5 triliun, naik 11,3% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan dana transfer ke daerah juga terus melaju dari Rp 623,1 triliun pada 2015 menjadi Rp 826,8 triliun di APBN 2019 dengan dana desa Rp 70 triliun.
Dia menegaskan bahwa langka pemerintahan Presiden Jokowi sudah tepat dengan memanfaatkan APBN untuk membangun fundamental bangsa ke depan, seperti pengembangan infrastruktur dan sumber daya manusia. Kebijakan ini memperlihatkan sikapnya sebagai negarawan, bukan sekadar mencari popularitas.
Hasilnya pun sudah terasa. Berdasarkan data Potensi Desa (Podes) 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), indeks pembangunan desa terus membaik. Jika pada 2014 jumlah desa tertinggal masih 19.750 desa atau 26,81% dari total desa, pada 2018 tersisa 13.232 atau 17,96%. Sedangkan desa mandiri meningkat dari 2.894 desa menjadi 5.559. Bahkan persentase penduduk miskin yang tersisa 9,66 persen, merupakan angka terendah sepanjang negeri ini merdeka.
"Jadi melihatnya jangan sepenggal-sepenggal, kecuali berniat cari sensasi. Bahas utang ya harus jernih," ungkap Arif. (hek/ara)