Patut diketahui, buzzer sendiri terdapat dua jenis. Ada yang berbayar karena menggunakan jasa mereka, ada juga yang gratis.
Rahaja Baraha, salah seorang mantan buzzer bercerita, dalam bekerja ia menekankan tidak menebar berita palsu alias hoax. Saat menggiring isu, dia menggunakan berita online sebagai rujukan. Hal itu bukan tanpa alasan. Sebab, pekerjaannya berbayar alias tidak gratis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, dia menyebut kegiatan buzzer ada juga yang tidak berbayar. Menurut Rahaja, karena buzzer itu tidak tersistem dan murni karena kecintaannya terhadap sesuatu.
"Kalau nggak berbayar, itu nggak ada hierarki, dia murni mendukung jadi buzzer, kecintaan keyakinan dia, dia nggak merasa harus dikontrol, akhirnya berita hoax dengan mudah tersebar di lingkaran itu," jelasnya.
Hal itu diperkuat oleh penjelasan Co-founder Politicawave Ardy Notowidigdo. Ardy menjelaskan, buzzer cenderung bekerja secara berkelompok, beda dengan influencer yang bekerja secara personal.
Motifnya pekerjaan mereka secara sederhana terbagi menjadi dua, yakni karena komersial atau kesamaan atas ideologi maupun kecintaan pada sebuah produk.
"Motifnya ada beberapa, jadi karena memang motifnya komersial, karena ada aliran dana dan permintaan pasar. Motif selanjutnya, adalah motif sukarela ada dorongan kesamaan idiologi, atau kecocokan atau kepuasan terhadap produk," jelasnya.
Dia menuturkan, buzzer dengan motif komersial cenderung lebih rapi strukturnya, dari perekrutan hingga proses kerjanya.
"Lalu kelompok buzzer komersial biasanya terafiliasi suatu agensi atau biro komunikasi. Sedangkan buzzer non-komersial bergerak sporadis atau individual," tutupnya. (dna/dna)