BPN: Umpatan 'Ndasmu' Wujud Kejengkelan Prabowo

BPN: Umpatan 'Ndasmu' Wujud Kejengkelan Prabowo

Hendra Kusuma - detikFinance
Senin, 08 Apr 2019 18:32 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Badan pemenangan nasionl (BPN) menjelaskan maksud dan tujuan umpatan 'ndasmu' yang dilontarkan oleh capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.

Anggota Dewan Pakar BPN Drajad Wibowo mengatakan, umpatan tersebut bentuk kejengkelan Prabowo atas capaian ekonomi pemerintah yang selalu dinarasikan berhasil.

"Itu wujud kejengkelan Prabowo kepada narasi yang dipakai pemerintah bahwa PE 5% itu hebat. Sudah termasuk tertinggi di G20," ujar Drajad saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Senin (8/4/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Drajad menceritakan, dari sejarah yang pada orde baru kecuali saat krisis ekonomi dan pemulihannya (1998-2004). Tidak pernah sekalipun Indonesia puas dan bangga dengan pertumbuhan 5%.


Drajad menceritakan, selama tiga dekade lebih kepemimpinan Presiden Soeharto, hanya 4 kali pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah 5%. Yaitu tahun 1975, 1983, 1985 dan 1987. Itu pun, pada tahun 1975 dan 1987 angkanya 4,98% dan 4,93%.

"Kecuali keempat tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di antara 5-10%. Bahkan ketika apes mendekati 5% pun, angkanya masih di atas 5,5%. Frekwensi terbanyak pertumbuhan ekonomi berada pada 6%-9%," ujar dia.


Lebih lanjut Drajad mengungkapkan, pada tahun 1968 pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat dua-dijit, yaitu 10,92%. Namun, itu menjadi capaian tertinggi karena setelah itu kita tidak pernah lagi dua-dijit, hanya pada tahun 1980 pernah 9,88%.

Di masa krisis dan pemilihannya, Drajad menilai angka 5% tergolong mewah setelah bangkit dari pertumbuhan yang minus 13,13% pada tahun 1998.

Bahkan, selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu berusaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan tidak pernah menganggap 5% sebagai capaian yang hebat.

"Kenapa kita memerlukan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi? Salah satu alasannya adalah untuk menampung pertambahan pencari kerja baru. Rasio penciptaan kerja yang wajar adalah sekitar 300-400 ribu tambahan orang bekerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Itu berdasarkan pengalaman historis sejak masa Pak Harto. Jika rasionya naik ke 500 ribu, sebenarnya sudah aneh. Tapi masih sedikit bisa ditolerir mengingat besarnya peranan sektor informal," ujar dia.

Menurut Drajad, pertumbuhan yang terlalu tinggi ada ekses negatifnya. Ekonomi Indonesia dikenal cepat panas. Pertumbuhan yang tinggi sering diikuti inflasi yang tinggi pula, sehingga menggangu stabilitas makro.


Itu sebabnya, kata Drajad, konsensus tidak tertulisnya adalah kita harus mengejar pertumbuhan ekonomi sekitar 6-7%. Padahal, itu angka yang cukup untuk menyediakan lapangan kerja, pendapatan per kapita rakyat meningkat cukup memadai, inflasi terkendali, demikian juga dengan nilai tukar rupiah dan suku bunga.

Dengan kata lain, lanjut Drajad, terjadi keseimbangan antara pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas.

"Dugaan saya, ketika Pak Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%, tidak lepas dari pertimbangan di atas. Sekarang tiba-tiba pertumbuhan ekonomi 5% ini dinarasikan sebagai sudah hebat. Masyarakat diminta puas dengan 5%. Jangan karena gagal 7% lalu masyarakat dicekoki dengan narasi ini," ungkap dia.

"Seharusnya yang dilakukan adalah, ayo kita cari cara bersama-sama mencapai PE 6-7% tersebut," sambungnya.


Simak Juga 'Prabowo: Negara Lagi Sakit, Ibu Pertiwi Sedang Diperkosa!':

BPN: Umpatan 'Ndasmu' Wujud Kejengkelan Prabowo
(hek/dna)

Hide Ads