Apakah RI Benar-benar Terdampak Perang Dagang AS vs China?

Apakah RI Benar-benar Terdampak Perang Dagang AS vs China?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 18 Jun 2019 14:04 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Reserach Office (AMRO) menyebut Indonesia adalah negara yang tidak terlalu terdampak negatif oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Menurut Chief Economist AMRO Hoe Ee Khor hal ini terjadi karena tidak banyak proyek manufaktur yang pindah ke China dan Indonesia tidak masuk dalam mata rantai produksi untuk ekspor kedua negara tersebut.

"Forecast kita untuk Indonesia (pertumbuhan ekonomi) belum diubah, masih 5,1%, karena saya rasa Indonesia tidak terlalu terdampak perang dagang seperti negara lain," ujar Hoe dalam media briefing di gedung BI, Jakarta, Selasa (18/6/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hoe mengatakan, Indonesia bisa mendapatkan manfaat positif dari ketegangan tersebut asalkan bisa menarik investasi manufaktur dari China. Seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand. "Di Indonesia ada juga potensi mendapatkan perpindahan manufaktur tetapi memang dalam jangka panjang," kata dia.


Dia menjelaskan memang dalam prediksi terburuk, AMRO mengungkapkan eskalasi ketegangan perdagangan antara AS dan China bisa menurunkan ekonomi kawasan hingga 40%. Bahkan ia memprediksi dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi di kawasan bisa turun mencapai 100 bps.

"AS dan Tiongkok akan sama-sama dirugikan, terlebih jika tambahan kebijakan non-tarif juga diterapkan. Dampak absolut perang dagang terhadap AS selama 2019-2020 relatif lebih rendah (-30 bps), dibandingkan terhadap Tiongkok (-60 bps)," ujar dia.

Dia mengatakan, dampak relatif terhadap AS akan jauh lebih besar (13% terhadap pertumbuhan rata-rata 2019-2020) dibandingkan terhadap Tiongkok (di bawah 10%). Otoritas di kawasan harus terus waspada mengingat risiko menjadi semakin nyata. Beberapa negara kawasan telah menerapkan langkah-langkah kebijakan yang bersifat pre-emptive atau frontloaded yang telah membantu meredakan kekhawatiran pasar.


Di beberapa negara, kebijakan moneter telah diperketat untuk menjaga stabilitas eksternal dan inflasi domestik, serta membendung akumulasi risiko yang mengancam stabilitas keuangan akibat periode suku bunga rendah yang berkepanjangan.

Langkah-langkah lain, seperti penangguhan proyek infrastruktur yang membutuhkan banyak bahan baku impor, juga telah dilakukan untuk mengurangi tekanan pada transaksi berjalan. Di sisi fiskal, anggaran pemerintah yang sehat mendukung kebijakan fiskal untuk memainkan peran countercyclical yang meski terbatas namun penting.

Beberapa negara kawasan juga telah mengadopsi kebijakan yang cenderung ekspansif, atau memprioritaskan ulang pengeluaran jika terdapat keterbatasan fiskal. Setelah periode pertumbuhan yang tinggi, didukung oleh kondisi keuangan global yang longgar, beberapa ekonomi kawasan saat ini mengalami perlambatan siklus kredit dan beberapa telah melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk mendorong penyaluran kredit. (kil/zlf)

Hide Ads