Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan raw sugar tersebut selain untuk menutup idle capacity juga bisa digunakan untuk membeli tebu petani dan merevitalisasi mesin sehingga tingkat rendemen bisa lebih tinggi.
Pernyataan tersebut dikemukakan HM Arum Sabil selaku Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (28/6/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Arum, alasan pemerintah memberikan penugasan ke swasta dengan dalih lebih efisien dan mesin lebih moderen dinilai mengada-ada dan hanya dijadikan pembenaran agar impor jatuh ke pihak swasta.
Padahal setelah revitalisasi, sejumlah pabrik gula pemerintah telah dimodernisasi sehingga dipastikan mampu berkompetisi dengan pabrik gula swasta.
"Sejumlah pabrik gula BUMN tutup karena kekurangan bahan baku. Kondisi idle capacity ini bisa diatasi dengan mengolah raw sugar sehingga pabrik gula BUMN bisa kembali beroperasi," jelas Arum.
Penurunan pasokan tebu antara lain diakibatkan penyempitan lahan tebu dan semakin menurunnya minat petani menanam tebu akibat harga tebu semakin murah. Kondisi tersebut makin diperparah dengan ketidakmampuan petani membeli pupuk dan mengatasi biaya pengolahan.
Kesiapan menerima penugasan impor juga diutarakan oleh Direktur Utama PTPN IX Iryanto Hutagaol. PTPN yang memiliki pabrik tebu mampu mengolah sekitar 500 ribu ton dalam satu musim giling.
Sementara itu Dirut PTPN X Dwi Satrio menegaskan bahwa PTPN X saat ini sudah menerapkan industri terintegrasi berbasis tebu. Produknya bukan hanya gula namun produk lain seperti bio mass, bio etanol.
"Tidak benar jika pabrik gula PTPN disebut tidak efisien dan teknologinya ketinggalan zaman," sanggahnya.
Pengamat ekonomi pertanian Agus Pakpahan menegaskan bahwa perbaikan nasib petani tebu dan penyehatan pabrik gula BUMN sangat tergantung pada keputusan politik pemerintah.
"Masalah gula ini menjadi ujian bagi pemerintah. Jika mengurus gula aja nggak mampu maka nggak usah bicara mengurus komoditas lainnya," pungkasnya. (das/das)