Dilema Penggunaan Batu Bara Lokal Jadi Andalan Devisa

Dilema Penggunaan Batu Bara Lokal Jadi Andalan Devisa

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Kamis, 18 Jul 2019 11:26 WIB
Ilustrasi Tambang Batu Bara/Foto: Hasan Alhabshy
Jakarta - Batu bara di Indonesia masih menjadi salah satu andalan sumber penghasil devisa. Di sisi lain, batu bara juga seharusnya sudah mulai dimanfaatkan untuk modal pembangunan negara.

Demikian diungkapkan Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Sri Raharjo dalam diskusi publik bertema Kebijakan Strategis Tata Kelola Pertambangan di Era kedua Jokowi 2020-2024 di Kuningan, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

"Ini dilematis memang. Di dalam UU Energi Nomor 30 Tahun 2007, kemudian turunannya kebijakan energi nasional Peraturan Pemerintah Tahun 74 disebut bahwa batu bara sumber energi nggak boleh atau pelan-pelan atau dia harus diubah jadi modal pembangunan," kata Sri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sri menjelaskan, sejatinya saat ini tingkat produksi batu bara di dalam negeri masih sangat kompleks. Di mana, setiap pelaku usaha di sektor tersebut sudah memiliki kajiannya masing-masing terkait produksi dan kebutuhan batu bara.

Sementara, pemerintah sendiri tak bisa begitu saja bisa membatasi atau bahkan memotong tingkat produksi batu bara yang terus mengalami kenaikan tiap tahunnya.

"Karena (nanti) ini (disebut) mengganggu investasi. Dengan alasan bisnis bisa dibenarkan. Kita lihat di tahun-tahun sebelumnya tingkat produksi semakin naik. Ketika kekurangan devisa, tambang andalannya. Tapi saya yakin pemerintah nggak akan terus begitu (mengandalkan batu bara) dalam penghasil devisa," katanya.



Lebih lanjut Sri mengatakan, pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah dalam membenahi aturan di sektor energi dalam negeri. Contohnya, ialah hilirisasi nilai tambah.

"Ini tidak berjalan dengan baik walaupun kita akhir-akhir ini sangat dorong cenderung keras nggak boleh jual ore. Bukan relaksasi tapi sebagai pemanis. Tapi kalau nggak bangun smelter ya enggak bisa ekspor. Perindustrian keluhkan nggak dapat pasokan karena nggak bisa ekspor," katanya.

Selain itu, ialah prioritas energi untuk kebutuhan di dalam negeri. Kebutuhan di dalam negeri harus lebih diutamakan ketimbang ekspor.

"Selanjutnya kepatuhan. Izin rekomendasi dan lainnya kita hapus. Ada yang dihapus, dikurangi, dipersingkat. Itu semua dilakukan untuk menarik pemodal untuk menggeliat. Tapi di sisi lain mereka harus patuh. Misalnya reklamasi tambang harus. Apakah saat ini sudah ideal? Belum. Tapi ini kita sudah lakukan berbagai upaya. Kalau nggak lakukan relaksasi pasca tambang, mereka nggak boleh jual. Itu kita tau," tuturnya.

(fdl/eds)

Hide Ads