Fahri bilang, untuk pindah ibu kota banyak undang-undang yang harus diubah, bahkan jumlahnya puluhan. Sehingga, prosesnya akan sangat panjang.
"(Pindah ibu kota) Dia harus berupa undang-undang, tapi undang-undang yang diubah banyak, ada puluhan undang-undang yang harus diubah gara-gara ini. Dan itu harus datang ke DPR-nya, bawa undang-undang, naskah akademiknya, nanti DPR sosialisasikan ke masyarakat, masyarakat terima apa nggak, panggil para pakar. Ini panjang ceritanya. Maka nyaris perpindahan ibu kota tidak masuk akal," paparnya di Kompleks MPR-DPR Jakarta, Rabu (21/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya saya bilang, jangan pindah ibu kota, pindahkan lokasi kantor pemerintah aja. Itu yang saya bilang, dulu Pak Harto mau pindahin ke Jonggol, bukan pindahin ibu kota, pindahin kantor pemerintahan," ungkapnya.
Kembali, dia mengatakan, yang dipindah ialah kantor pemerintah. Sementara, simbol negara seperti Istana tetap di Jakarta.
Dia pun mencontohkan, jika kantor pemerintahan yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang sering dikunjungi pejabat daerah, maka Kemendagri yang harus dipindah.
"Dan yang pindah nggak bisa simbol negara kaya Istana, DPR, ini kantor pemerintah aja. Bahkan kalau memang mau kantor pemerintah yang paling banyak didatangi pejabat daerah namanya Kemendagri, Kemendagrinya saja dipindahin ke mana gitu supaya orang jangan datang ke Jakarta. Itu bisa, itu sih bukan memindahkan ibu kota, mindahin kantor doang. Jadi yang diperlukan mindahin kantor bukan mindahin ibu kota. Salah nih cara berpikirnya," tutupnya.
Baca juga: Ini Desain Ibu Kota Baru RI di Kalimantan |
(eds/eds)