Salah satu saksi hidupnya adalah warga Simeulue Barat, Anismawati (38). Saat air laut sudah nampak surut setelah gempa besar terjadi, ia dan suami memboyong dua anaknya untuk lari ke gunung.
"Orang-orang sudah berteriak smong..smong..lalu kami lari lah tanpa pikir apa-apa lagi ke gunung (ke tempat yang lebih tinggi)," kenang Anismawati kepada detikcom saat ditemui baru-baru ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada situasi yang kalang kabut, Anis yang membuka usaha sembako pada tahun 2003 itu harus rela menelan kenyataan pahit bahwa dagangannya dijarah oleh oknum tak bertanggung jawab.
Tsunami Aceh yang diawali dengan gempa berkekuatan 9,1 skala richter itu memang tidak menelan banyak korban di Simeulue Barat. Hanya ada 7 korban jiwa di pulau ini. Itu pun karena faktor usia.
"Kejadian sekitar jam 9 pagi kami naik gunung lalu turun jam 5 sore. Karena panik dagangan ditinggal saja, lalu dijarah lah barang-barang kami," jelasnya.
Ia pun hanya bisa pasrah. Padahal barang-barang sembako yang ada di warungnya saat itu baru tiba dari Sibolga. "Malamnya (sebelum kejadian) baru masuk itu barang sembako dari Sibolga. Balik dari gunung, barang kami habis. Pedih sekali lah," tuturnya.
Namun, hidup tetap harus berlanjut. Saking putus asanya, Anis sempat meminta kepada suami untuk pulang kampung ke kota kelahirannya di Padang, Sumatera Barat. Tetapi, hal itu urung dilakukan lantaran masih ada utang yang harus ditanggung.
"Kami juga gak mau pulang kampung karena ada utang. Akhirnya kami bertahan dulu di sini," tuturnya.
Ia dan suami pun lalu mulai kembali menata hidup dengan membuka wartel (warung telepon). Saat itu, ia memilih untuk menyewakan telepon genggamnya kepada para tetangga yang butuh menghubungi sanak keluarga di luar daerah. Bayarannya Rp 3.000 per menit.
"Dulu yang namanya komunikasi itu kan orang butuh sekali ya, lalu kami coba lah kami beli telepon genggam jaman dulu terus kami beli pulsa sekian, lalu kami beri tarif Rp 3000 per menit buat orang-orang yang butuh telepon keluarganya," tuturnya.
Setelah kondisi mulai berangsur pulih, Anis pun bersama suami lalu memberanikan diri untuk mengajukan kredit di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Awalnya ia mengambil kredit sebesar Rp 25 juta.
Lewat kredit itu, ia kembali memulai berjualan sembako. Kerja keras dan mental pantang menyerah bersama sang suami lah yang membuat ibu tiga anak ini bisa membesarkan usahanya sampai sekarang.
Kini, bukan hanya toko sembako saja yang dimiliki oleh Anismawati melainkan juga kios pakaian. Bisa dibilang, toko milik Anismawati bersama suaminya ini adalah yang terlengkap di Simeulue Barat. Ia juga bisa menyekolahkan anak pertama dan keduanya di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Pengalaman pahitnya pernah dijarah pada 15 tahun silam, kini pun berbuah manis. Kini, ia sudah naik kelas dari nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi nasabah retail dengan nilai kredit usaha mencapai Rp 250 juta. Omset yang didapatkan dari berdagang pakaian pun kalau dirata-rata bisa mencapai Rp 2 juta per harinya.
detikcom bersama Bank BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas mengenai perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(ujm/ujm)