-
Kondisi perekonomian berbagai negara di dunia tidak cukup menggembirakan dalam beberapa waktu terakhir. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China hingga serangan pesawat tanpa awak terhadap dua kilang minyak perusahaan Aramco milik Arab Saudi dua pekan lalu mewarnai dinamika ekonomi global sejumlah negara.
Pelemahan pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama, penurunan harga komoditas global, dan kekhawatiran di pasar keuangan menjadi tekanan yang dihadapi oleh ekonomi dalam negeri. Alhasil, penerimaan negara pun seret alias tersendat-sendat hingga per Agustus 2019.
"Kalau dilihat dari pertumbuhannya dibanding tahun sebelumnya, maka kita lihat tahun 2019 ini terjadi pelemahan. Ini menandakan kondisi ekonomi mengalami penurunan sehingga para pengusaha bayar pajak lebih rendah dibandingkan dua tahun berturut-turut. Ini harus kita waspadai," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).
Sri Mulyani mengatakan seretnya penerimaan negara mulai terlihat pada pertengahan tahun ini. Seluruh jenis pajak utama pun mengalami tekanan pada periode Januari-Agustus 2019.
Realisasi penerimaan negara hingga Agustus 2019 tercatat Rp 1.189,32 triliun. Capaian ini mencakup 54,9% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 2.165,1 triliun.
Dengan kata lain, dalam empat bulan ke depan pemerintah masih harus mengejar pendapatan sebesar Rp 975,8 triliun lagi.
Sri Mulyani menjelaskan rincian penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) sebesar Rp 920,51 triliun atau 51,5% dari target APBN 2019 Rp 1.786,4 triliun.
Sementara itu, penerimaan bukan pajak Rp 268,2 triliun atau 70.9% dari target APBN 2019 sebesar Rp 378,3 triliun. Sedangkan hibah hingga Agustus 2019 sebesar Rp 1 triliun.
Mantan Direktur Bank Dunia tersebut mengatakan pemerintah akan hati-hati dalam mengejar target penerimaan di semester II. Tingkat inflasi yang terkendali dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga diharapkan menjaga tingkat konsumsi masyarakat.
"Semester II kita harus berhati-hati agar kegiatan ekonomi tetap bisa distimulasi dan ditingkatkan," tuturnya.
Penerimaan pajak sektor pertambangan dan industri pengolahan pada Agustus 2019 turun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Tekanan ekonomi global menjadi salah satu biang kerok.
"Sektor ini (pertambangan) mengalami tekanan yang sangat dalam," kata Sri Mulyani.
Penerimaan pajak sektor pertambangan pada September 2019 terkoreksi 18,8%. Padahal tahun sebelumnya, penerimaan pajak sektor ini tumbuh 71,6%.
Penerimaan pajak sektor industri pengolahan terkoreksi 4,8% pada September 2019 atau jauh lebih rendah dibanding tahun lalu yang bisa tumbuh 13,4%.
Sektor konstruksi juga mencatatkan pertumbuhan yang defisit, meski lebih rendah dibanding dua sektor sebelumnya. Sektor konstruksi dan real estat tumbuh minus 1,5% atau lebih rendah dibanding tahun lalu yang bisa tumbuh 10,3%.
Sementara sektor-sektor yang berhasil tumbuh positif pada September 2019 di antaranya perdagangan, keuangan, serta transportasi dan perdagangan. Meski demikian, dua sektor pertama tumbuh lebih rendah dibanding tahun lalu.
"Perdagangan hanya tumbuh tipis. Ini menggambarkan bahwa sektor ini tidak bebas dari dampak pelemahan dari luar yang berimbas ke dalam," kata Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN 2019 per akhir Agustus 2019 sebesar 1,24%. Angka ini lebih lebar dari defisit APBN 2018 pada periode yang sama sebesar 1,02%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit yang melebar ini disebabkan oleh pertumbuhan penerimaan yang lebih kecil dibandingkan belanja. Penerimaan yang lebih rendah dari proyeksi didorong oleh pelemahan ekonomi global yang masih terus berlangsung.
Sri Mulyani bilang pemerintah tak akan menahan belanja negara meski penerimaan masih seret. Alhasil, defisit anggaran juga diproyeksi melebar hingga akhir tahun.
"Kalau dilihat bahwa proyeksinya nanti akan mengalami tambahan shortfall, defisit akan lebih besar dari 1,93%," katanya.
Namun pihaknya enggan merinci hingga berapa pelebaran tersebut. Adapun outlook defisit anggaran tahun ini mencapai 1,93% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Adapun penerimaan pajak hingga akhir Agustus 2019 tercatat baru Rp 801,16 triliun atau baru 50,78% dari target Rp 1.577,56 dalam APBN 2019. Masih ada kekurangan pajak sekitar Rp 776 triliun untuk mencapai target.
Seluruh jenis pajak utama tercatat mengalami tekanan pada periode Januari-Agustus 2019. Terutama pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri, dan PPN impor.
Lalu, bagaimana dampak langsungnya ke masyarakat?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dilihat dari penerimaan pajak PPh 21 yang diambil dari gaji dan upah karyawan, masih terjadi pertumbuhan yang cukup tinggi. Menurutnya, hal ini menunjukkan dampak ekonomi global tak cukup berpengaruh ke pendapatan masyarakat secara langsung.
"Kalau dilihat dari PPh 21, kita masih lihat pertumbuhan cukup tinggi. Artinya pelemahan ekonomi belum menimbulkan tekanan ke karyawan. Karena PPh 21 masih tumbuh double digit," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Auditorium Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Pertumbuhan PPh 21 periode Januari-Agustus 2019 tercatat tumbuh 10,6%. Meski masih tumbuh double digit, namun angka pertumbuhannya masih lebih rendah dibanding 2018 yang sebesar 16,4%.
Penerimaan pajak jenis PPh orang pribadi juga tumbuh positif sebesar 15,4%. Hal ini menambah sentimen positif masih normalnya aktivitas ekonomi di masyarakat.
"Ini menggambarkan upaya DJP (Direktorat Jenderal Pajak) pasca tax amnesty untuk melakukan ekspansi tax base berjalan baik," kata Sri Mulyani.
Namun demikian, penerimaan pajak jenis PPh 22 impor dan PPh badan tercatat tumbuh sangat kecil. Bahkan PPh 26, PPN DN, dan PPN impor mencatatkan pertumbuhan yang negatif.
"Dari sisi ini, pertumbuhan pajak kita menunjukkan adanya tekanan yang mulai berdampak ke kegiatan usaha dalam negeri," kata Sri Mulyani.