Kasubdit Komunikasi Dan Publikasi DJBC, Deni Surjantoro mengatakan para pelaku jastip bisa memanfaatkan batasan ketentuan barang bawaan yang selama ini ditetapkan sebesar US$ 500 per orang atau setara Rp 7 juta (Kurs Rp 14.000).
"Itu betul, untuk barang keperluan pribadi," kata Deni saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan adanya aturan itu, maka setiap masyarakat yang bepergian ke luar negeri lalu membawa barang titipan alias oleh-oleh namun ingin terbebas dari bea masuk maka harus mengikuti ketentuan PMK. Jika terbukti melebihi batas ketentuan, maka harus membayar kewajiban perpajakannya.
Adapun, kewajiban membayar perpajakan dari barang bawaan yang dihitung adalah kelebihan nilai dari batas ketentuan yang berlaku. Menurut Deni, ketentuan ini hanya berlaku untuk barang pribadi, bukan untuk dijual kembali.
Meski demikian, Deni menegaskan bahwa bagi masyarakat yang memang melakukan usaha jastip lebih baik mendeklarasikan bahwa barang yang dibawa merupakan untuk kepentingan dagang.
"Hakikatnya jika barang tersebut akan diperdagangkan maka menggunakan skema PIBK dan berlaku ketentuan impor pada umumnya jadi meskipun di bawah US$ 500, jika barang tersebut bertujuan untuk didagangkan maka berlaku skema impor umum dengan PIBK," ungkap dia.
Menjalani usaha jasa titip alias Jastip memang asyik untuk dijalani. Selain bisa jalan-jalan, pelaku Jastip juga bisa mendapat pundi-pundi rupiah.
Tapi ternyata, usaha Jastip tersebut kerap melenceng dari ketentuan belanja di luar negeri yang diatur oleh pemerintah. Dengan nilai belanja yang jumbo, para pelaku jastip kerap harus 'kucing-kucingan' dengan pemeriksaan pihak Bea Cukai.
(hek/eds)