Kisah Ekuador: Dulu Raja Minyak Kini Tumpuk Utang

Kisah Ekuador: Dulu Raja Minyak Kini Tumpuk Utang

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 15 Okt 2019 15:43 WIB
Demo Ekuador Foto: Rodrigo Buendia/Agence France-Presse
Jakarta - Ekuador berencana meninggalkan organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) mulai tahun depan. Ekuador sendiri merupakan negara terkecil yang tergabung dalam OPEC dengan kapasitas produksi minyak mentah mencapai 167.400 barel/hari. Negara asal Amerika Selatan ini keluar dari OPEC dikarenakan adanya masalah fiskal yang terjadi di negara tersebut.

Permasalahan fiskal ini bermula ketika Ekuador mengalami defisit karena jatuhnya harga minyak, yang membuat negara ini mulai memiliki banyak utang.

Melansir dari CNBC Indonesia, Selasa (15/10/2019), sebagai negara yang struktur ekonominya bertumpu pada komoditas, ekonomi Ekuador mulai anjlok ketika harga minyak jatuh di tahun 2014 silam. Dengan anjloknya harga minyak, penerimaan negara menjadi berkurang dan menyebabkan defisit fiskal yang parah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guna menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah Ekuador mulai berutang di sana-sini. Utang domestik jangka pendek, penarikan cadangan bank sentral hingga penempatan utang luar negeri dengan biaya yang sangat tinggi dilakukannya. Sejak 2014-2017 utang Ekuador naik signifikan hingga melebihi batas aman 40% dari total PDB.



Ekuador telah mencapai kesepakatan pembiayaan sebesar US$ 4,2 miliar dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Negara itu juga akan menerima pinjaman US$ 6 miliar dari lembaga multilateral termasuk Bank Dunia, Bank Pembangunan Antar-Amerika, dan bank pembangunan Andes CAF.

Tidak hanya utang, pemberian subsidi pemerintah yang tidak tepat sasaran malah memberatkan perekonomian Ekuador. Adanya kebijakan populis untuk menaikkan gaji dan juga subsidi bahan bakar pada akhirnya hanya memberatkan pengeluaran pemerintah. Pasalnya peningkatan subsidi ini tidak disertai dengan peningkatan produktivitas masyarakat.

Oleh karenanya Ekuador kini harus menetapkan kebijakan penghematan/austherity. Kebijakan penghematan ini ditempuh dengan berbagai cara untuk mengurangi beban perekonomian negara seperti PHK karyawan hingga penghentian subsidi bahan bakar.

Namun, kebijakan penghematan ini malah dinilai memperkeruh keadaan. Sejak pengumuman penghentian subsidi bahan bakar pada 3 Oktober lalu, menimbulkan gelombang demo masa yang memprotes kebijakan tersebut. menyebabkan terjadinya gesekan antara warga dengan aparat menjadi tidak terelakkan. Stabilitas politik Ekuador menjadi terguncang, bahkan kantor pemerintahan harus dipindahkan dari Quito ke Guayaquil karena masa telah menduduki ibukota.


Jadi secara garis besar, kurangnya diversifikasi ekonomi Ekuador serta pengelolaan fiskal yang kurang prudent menjadi masalah utama perekonomian negara tersebut.


Artikel ini sudah tayang di CNBC Indonesia dengan judul: Ini Kisah Ekuador dari Raja Minyak jadi Raja Utang


(zlf/zlf)

Hide Ads