Sejalan dengan edaran tersebut, BKN juga membuka layanan pengaduan ASN via media sosial BKN. Lalu, tercatat 990 laporan ketidaknetralan ASN yang disampaikan ke Komisi Aparatur Sipi Negara (KASN) untuk ditindaklanjuti bersama dengan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing instansi pusat dan daerah.
Menanggapi hal itu, Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam menilai gejala neo-orba (orde baru) mulai muncul, terutama dalam aspek penegakan hukum. Pasalnya, demokrasi dirasa terbatas, terutama bagi seorang ASN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, pemerintah harus punya aturan teknis dalam menangangi sebuah pendapat yang disampaikan ASN. Jika kritik yang disampaikan masih dalam konteks demokrasi, maka pemerintah tak bisa menindaknya dengan mengatasnamakan reformasi birokrasi.
"Aturan teknis yang menjadi koridor kebebasan politik PNS harus jelas dan tetap menjamin penguatan nilai-nilai demokrasi, bukan justru memberangusnya secara membabi buta atas nama reformasi birokasi," jelas Umam.
Ia mengatakan, dalam mengukur suatu pendapat termasuk dalam ujaran kebencian atau hanya kritik harus diiringi dengan pemahaman aturan teknis dan pendidikan politik. Selain itu, ASN sendiri juga harus menyikapi media sosial dengan baik sebelum menyampaikan kritiknya.
"Diperlukan kedewasaan bermedia sosial, dan penegakan aturan teknis yang proporsional. Instrumen negara yang punya otoritas pengendalian hoax, fake news, dan hate speech perlu difungsikan dengan baik, tanpa memberangus nilai-nilai kebebasan & demokrasi itu sendiri. Di sinilah perlu pendidikan politik," papar dia.
Selain itu, menurut Umam pemerintah tak perlu mendikte ASN dalam menentukan sikapnya dalam menyampaikan pendapat.
"Masyarakat sebaiknya tidak dibiasakan didikte, kedewasaan politik mereka adalah jaminan kualitas demokrasi Indonesia ke depan," imbuhnya.
(fdl/fdl)