Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi ldris menjelaskan bahwa buruh yang mungkin merasakan dampak kenaikan iuran adalah yang gajinya Rp 8 juta ke atas. Kelompok tersebut dia bilang jumlahnya tak lebih dari 5%.
Hal itu berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sampaikan saja dalam master file kami dari total pekerja penerima upah yang penghasilannya Rp 8 juta ke atas tidak sampai 5% (jumlahnya)," kata dia di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Sementara 95% sisanya tidak terpengaruh dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"95% peserta penerima upah tidak terpengaruh dengan naiknya atau rasionalisasi iuran. Saya tidak ingin buruh jadi bingung terbawa berita bahwa terbitnya perpres berpengaruh terhadap daya beli. Karena tidak ada pengeluaran tambahan dari pekerja penerima upah," jelasnya.
Bahkan, untuk penerima upah yang terdampak menurutnya tidak signifikan, yaitu Rp 27 ribu yang mencakup 5 orang. Bila angka tersebut dibagi 5 tidak lebih dari Rp 6.000, tepatnya Rp 5.400.
"Tambahannya Rp 27.000 untuk 5 orang. Jadi sekitar Rp 5-6 ribu untuk pekerja yang penghasilannya Rp 8 juta ke atas," tambahnya.
Sebagai informasi, ribuan buruh menggelar aksi unjuk rasa di kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), kemarin, Kamis (31/10/2019).
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, hal itu tidak masuk akal. Di saat pemerintah hanya menaikkan UMP 8,51%, iuran BPJS malah naik mencapai 100%.
"Upah naiknya cuma 8%, BPJS naiknya 100%. Itu nggak masuk akal. Ekonomi kita nggak masuk akal," tegas Iqbal.
(toy/eds)