Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan Indonesia akan belajar dari Malaysia untuk pengembangan keuangan dan ekonomi syariah.
"Indonesia akan belajar dari Malaysia, bagaimana mereka berhasil. Misalnya melihat bagaimana fokus investasi dan instrumen sosial seperti zakat dan wakaf di masyarakat," kata Sri Mulyani dalam acara ISEF di Jakarta Convention Center, Kamis (14/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Mulyani mengungkapkan saat ini sektor keuangan syariah masih memiliki produk dan kebijakan yang terbatas. Dia menyebut Indonesia adalah salah satu negara yang terlambat dalam mengembangkan keuangan syariah.
Hal ini tercermin dari undang-undang terkait perbankan syariah pada 1981 dan aturan sukuk global syariah baru berlaku pada 10-15 tahun yang lalu kemudian diikuti oleh asuransi.
"Walaupun terlambat tetapi kita sudah memulai proses ini. Instrumen syariah di Malaysia bisa dipelajari," jelas dia.
Dia menyebutkan pemerintah berupaya untuk meningkatkan minat masyarakat Indonesia untuk penjualan sukuk terbesar di dunia. Namun tak banyak masyarakat yang membeli, justru dibeli dari luar negeri.
"Kami memberikan edukasi dan memberikan kepastian dan membeli instrumen untuk mereka, tanpa keruwetan dan kesulitan pembahasannya," jelas dia.
Misalnya dengan produk sukuk ritel agar kaum milenial bisa memahami dengan mudah instrumen investasi syariah. Lalu sukuk berbasis lingkungan melalui green sukuk.
Dengan produk-produk yang mudah, Sri Mulyani menjelaskan kualitas syariah diharapkan bisa meningkat. Sehingga klaim risiko tinggi, harga mahal, tidak efisien bisa dihilangkan.
Sebelumnya dalam industri keuangan syariah Mesir saat ini sudah 9,5%, Pakistan 10,4% dan Malaysia 28,5%. Indonesia saat ini untuk keuangan mencapai 8,6% dan khusus untuk perbankan syariah 5,6%.
(kil/eds)