Surat bertanggal 15 Oktober 2018 itu ditandatangani oleh Direktur Keuangan Jiwasraya kala itu Danang Suryono. Didalam surat tersebut disampaikan bahwa posisi investasi per 30 September 2018 terdapat total investasi sebesar Rp 32,7 T dimana di dalam investasi tersebut terdapat Deposito sebesar Rp 725 M dan Obligasi sebesar Rp 4,5 T.
Sementara, pada tahun 2018 itu juga perseroan mengumumkan gagal membayar polis JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar. Lantas, apakah aset yang dimiliki Jiwasraya kala itu mampu menopang sengkarut keuangan yang ditanggung perseroan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal itu, Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Kepala Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto menuturkan bahwa kepemilikan aset Jiwasraya percuma saja jika tak berupa investasi yang liquid atau mudah dicairkan.
Menurut Toto, liquid atau tidaknya aset tersebut sudah bisa dilihat dengan kasus gagal bayar polis sebesar Rp 802 miliar di tahun 2018 itu.
"Kalau asetnya nggak liquid, ya percuma. Itu masalah kaitannya dengan Rp 32 triliun sebagian besar di investasi aset yang liquid atau nggak liquid? Jadi kalau kemudian terjadi mulai kesulitan pembayaran di 2018, sampai mereka meminta ada pengunduran pembayaran polis itu, itu kan berarti sebagian besar mereka punya aset itu nggak liquid, nggak bisa dicairkan dengan cepat," kata Toto kepada detikcom, Minggu (29/12/2019).
Berdasarkan dokumen tersebut, aset yang dimiliki Jiwasraya secara komposisinya 2,21% dari deposito, 13,80% dari obligasi, 13,47% dari saham, 46,28% dari reksa dana, 1,81% dari reksa dana unit Link, 0,05% dari KIK EBA, 20,51% dari properti, 1,58% dari penyertaan, dan 0,29% dari pinjaman polis.
Jika dilihat, aset paling besar yang dimiliki Jiwasraya pada Oktober 2018 paling besar dari investasi reksa dana dan saham, serta investasi di properti.
Menyoroti hal itu, Toto menurutkan, baik investasi reksa dana dan saham, serta properti yang dipegang Jiwasraya bukan merupakan aset yang liquid.
"Kalau asetnya tidak liquid, misalnya sebagian besar dia letakkan di saham dan harga sahamnya sudah tertekan sedemikian rupa, sehingga harga sahamnya tinggal 30% atau 40% dari nilai awalnya, kan itu barang jadi nggak liquid. Kalau mau dijual berarti saya cut loss, rugi. Atau sebagian besar asetnya di properti. Sedangkan properti di tahun-tahun sekarang tertekan juga. Saya beli Rp 100, jangan-jangan di market sekarang harganya Rp 70," terang Toto.
Untuk itu, Toto mengutarakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan Jiwasraya saat ini. Pertama dengan skema non PMN (Penanaman Modal Negara). Yaitu setoran modal yang masuk dari rencana pendirian anak usaha Jiwasraya Putra, dan juga holding BUMN Asuransi.
"Dengan skema ini diharapkan ada setoran modal masuk dan sebagian bisa dipakai untuk menutupi utang polis Jiwasraya jatuh tempo," imbuh dia.
Langkah kedua yang merupakan solusi cadangan yakni penyuntikan modal oleh negara. Atau, solusi terakhir yaitu mengundang investor asing.
"Kalau skema tersebut tidak jalan juga, menurut saya pada akhirnya Pemerintah sebagai pemegang saham harus turun tangan, bailout sebagian utang polis jatuh tempo Jiwasraya. Selebihnya mekanisme korporasi harus berjalan, mulai dari upaya restrukturisasi sampai dengan yang paling ekstrem mengundang investor (termasuk asing) untuk take over Jiwasraya," pungkas Toto.
(dna/dna)