Lantas apa yang membuat toko-toko ritel ini tutup?
Menurut ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, telah terjadi perubahan pola belanja di tingkat konsumen. Menurutnya, kini konsumen sudah tidak mau lagi berbelanja dengan sistem stok atau dalam jumlah besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Suram! Ritel Berguguran di 2019 |
"Jadi pola belanja konsumen berubah, mereka tidak lagi main stocking. Polanya itu membeli sesuai kebutuhan dan keinginan dalam jangka pendek, itu bisa dipenuhi di minimarket dan warung sekitar rumahnya," ungkap Roy kepada detikcom, Selasa (31/12/2019).
Sebagai catatan, selama ini ritel yang tutup adalah ritel berskala besar alias hypermarket. Roy juga mengatakan kini masyarakat pun sudah tidak ingin lagi belanja di tempat yang besar, karena cukup repot.
Menurut Roy, semua tradisi belanja di toko besar sudah mulai dihindari. Mulai dari mencari parkir, berputar di toko mencari barang, hingga memindahkan barang dari troli. Sebaliknya masyarakat mau yang praktis cukup ke toko yang kecil belanja seperlunya.
"Jadi memang ada anomali, perubahan bentuk karena pola belanja masyarakat. Mereka sekarang maunya cepat, praktis, nggak habiskan waktu. Bahkan beberapa dari kita juga mulai berikan fasilitas delivery," ujar Roy.
Maka dari itu menurutnya, banyak toko ritel mulai tutup. Meski begitu, Roy mengatakan usai menutup toko, peritel akan merelokasi dan membangun toko yang lebih kecil untuk efisiensi dan mengikuti pola belanja masyarakat.
Baca juga: Suram! Ritel Berguguran di 2019 |
"Makanya banyak yang tutup, karena polanya nggak kayak 5-6 tahun lalu. Sekarang kita merelokasi ke tempat lebih kecil dan masih jarang pesaingnya. Kalau dulu bangun hypermarket yang luasnya 5 ribuan meter, sekarang paling toko kecil yang cuma 1.500 atau 2 ribu meter saja," ungkap Roy.
"Barang yang dijual pun cuma yang pasti dicari, kayak bahan pokok beras dan lain-lain," lanjutnya.
(zlf/zlf)