Jakarta - Para driver ojek online melakukan aksi demonstrasi kemarin. Sederet permintaan dan tuntutan disuarakan para driver dalam aksi yang dilakukan di depan Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat.
Menurut Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono para driver, khususnya yang dari daerah ingin besaran tarif dalam Keputusan Menteri 348 tahun 2019 dievaluasi. Para driver meminta tarif disesuaikan per provinsi bukan per zona seperti dalam Kepmen 348.
"Jadi ini kan ada teman-teman perwakilan daerah juga. Mereka dari daerah maunya tarif itu di atur sama provinsi. Selama ini kan pakai Kepmen 348 sistem zonasi nah kita mau jadi per provinsi aturan tarifnya," ungkap Igun kepada
detikcom, Rabu (15/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Igun, tarif ojol memang sebaiknya diatur per provinsi bukan per zona. Pasalnya, di setiap provinsi kemampuan daya beli masyarakat berbeda-beda.
Igun mengatakan selama ini pun banyak keluhan dari penumpang maupun driver di daerah. Ada penumpang yang mengeluh tarif terlalu mahal, driver pun ada yang mengeluh tarif terlalu murah.
"Masalahnya gini, setiap provinsi kan pendapatan masyarakatnya beda-beda, misalnya kalau dilihat dari proyeksi UMR. Nah ada penumpangnya banyak ngeluh ketinggian, drivernya juga ada yang ngerasa kurang," jelas Igun.
Bukan cuma tarif, Igun mengatakan para driver juga meminta legalitas hukum. Menurutnya, driver ojol ingin pemerintah mendorong agar DPR melegalkan ojek online menjadi angkutan umum dalam undang-undang.
"Kemudian kita akan ke Istana kita mau minta legalitas payung hukum bagi ojek online. Revisi UU 22, pemerintah mendorong legislatif untuk melegalkan ojek online jadi angkutan umum," sebut Igun.
Driver juga meminta agar posisinya dalam hubungan kerja dengan operator diperkuat. Untuk apa?
Igun menjelaskan driver ojol meminta agar posisi mereka sebagai mitra bisa diperkuat. Dia mengatakan driver ingin diperlakukan lebih setara.
"Kita nggak ke situ arahnya, bukan jadi pekerja. Kita tetap pengguna jasanya perusahaan aplikasi juga. Dalam hal ini kan mereka kategorikan kami mitra, nah kita mau memperkuat posisi kita meski jadi mitra. Harus setara," ungkap Igun ditemui saat aksi di Jakarta Pusat.
Igun menegaskan bahwa pihak driver ojol tidak menuntut untuk diangkat jadi karyawan. Mereka hanya ingin posisi kemitraan diperlakukan lebih manusiawi, setara, dan adil.
"Kita ini cuma mau lebih setara, manusiawi, dan berkeadilan. Kita tetap mau jadi mitra tapi lebih manusiawi lah," sebut Igun.
Dia mencontohkan soal kasus asal suspend misalnya. Driver ojol ingin kalau ada masalah antara penumpang dan driver bisa dirundingkan. Dia meminta driver diajak bicara dahulu bukan tahu-tahu diberikan suspend.
"Misal ada penumpang bikin laporan, ojolnya begini-begini nih, tau-tau kita diputus mitra. Nggak mau kita begitu. Kalau ada laporan apa-apa harusnya dipanggil dulu. Punya hak sanggah bela diri segala macam," ungkap Igun.
Driver juga mengeluhkan fenomena kemunculan Maxim, aplikator dari Rusia ini dinilai meresahkan. Apa masalahnya?
Akhir tahun lalu, Maxim diprotes habis oleh para driver ojek online di Solo. Praktek penentuan tarif di bawah aturan ini berujung pada digeruduknya kantor Maxim oleh para driver ojek online.
Kemenhub pun sudah menegur Maxim dan meminta menyesuaikan tarif. Ibarat tidak kapok Maxim masih berani mainkan tarif di bawah aturan yang berlaku.
Driver ojol di Lampung pun ternyata masih mengeluhkan tarif Maxim yang berada di bawah aturan.
"Pemerintah ini harus perhatian sama aplikator yang masih nakal mainan sama tarif. Ini masih ada di Maxim di Lampung kasusnya sama kayak di Solo, mereka tarifnya di bawah ketentuan Kemenhub," ungkap Ketua Umum Gaspool Lampung Miftahul Huda kepada detikcom, ditemui saat aksi ojek online di Jakarta.
Menurut Miftahul pihaknya sudah meneriakkan ketidakadilan tarif Maxim sebelum masalah ramai terjadi di Solo.
"Padahal kita duluan ini yang berisik soal Maxim di Lampung. Cuma ini rusuhnya di Solo duluan jadi langsung dapat perhatian," kata Miftahul.
Dia meminta pemerintah untuk turun tangan ke dalam masalah ini. Dia mengingatkan jangan sampai terjadi kerusuhan seperti yang terjadi di Solo baru Kemenhub turun tangan.
"Maka jangan sampai ada kerusuhan di sini, jangan sampai kayak di Solo ini rusuh dulu baru ada penanganan," kata Miftahul.