Jumlah itu membengkak sangat signifikan dari yang mulanya hanya sebesar Rp 802 miliar pada Oktober 2018. Apa yang menyebabkan posisi gagal bayar Jiwasraya melonjak drastis dari semula hanya Rp 802 miliar menjadi Rp 12,4 triliun di 2019?
Menurut Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu lonjakan gagal bayar itu terjadi justru karena pengumuman gagal bayar di 2018. Pengumuman itu dianggap blunder karena malah memicu nasabah JS Saving Plan Jiwasraya lainnya berbondong-bondong mencairkan dananya yang disimpan dalam instrumen tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepanikan nasabah tersebut, lanjut Said Didu, berpotensi membuat semakin banyak nasabah Jiwasraya yang menuntut pegembalian danannya. Apa lagi, kekhawatiran publik terhadap sektor ini belum mampu diredam pemerintah.
"Mungkin bisa nambah lagi, karena nasabah yang meminta bisa nambah lagi," sambungnya.
Mencegah fenomena yang dikenal dengan istilah rush money ini semakin meningkat dan menjalar ke perusahaan asuransi lainnya, maka salah satu upaya yang perlu ditempuh ialah dengan memperketat pengawasan terhadap sektor tersebut.
"Pertama, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) harus meningkatkan pengawasan. Kedua, tempatkan orang-orang yang memang bermoral baik di asuransi, bukan sekedar ahli. Ketiga, perompoknya harus dibikin jera," pungkasnya.
(dna/dna)