Mereka pun sempat mengadukan masalah itu ke Susi Pudjiastuti meskipun tak menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Madura itu sejak zaman Belanda dipakai untuk lahan garam. Baru kali ini kita dimatiin. Dua tahun nggak bisa jualan," kata salah satu petani garam di Madura, Ismutajab saat dihubungi detikcom, Rabu (22/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bu Susi mencak-mencak nggak karuan itu. Saat dia jadi menteri saja dia mencak-mencak lihat kok kita bisa bikin seperti yang dia impor kenapa kita nggak lakukan," sebutnya.
Ismutajab memperkirakan ada sekitar 750 ribu ton garam yang belum terserap di Madura. Alhasil garam-garam petani lokal dianggurkan begitu saja lantaran sulit terjual.
"Yang tadinya saya perkirakan hanya 200 ribu ton, yang di rakyat banyak sekitar 700an ribu ton yang tidak terserap dan itu karena sudah 2 tahun nggak bisa jualan. Garam itu ditaruh begitu saja, cuma ditutupin plastik. Yang punya duit beli plastik, yang nggak cuma taruh saja pinggir jalan," terangnya.
Sementara itu dia menjamin bahwa sebenarnya kualitas garam lokal sudah bagus dan bisa bersaing dengan impor. Oleh karenanya dia menilai sebenarnya Indonesia tidak perlu impor garam.
"Impor yang seharusnya nggak perlu karena sejak Menteri Susi melihat garam kita bisa dibikin premium, diberikan bantuan plastik membran ini di Madura, itu garamnya makin bagus, makin bagus mendekati impor, sedikit sekali bedanya," tambahnya.
(toy/ang)