Prospek investasi di Indonesia tahun ini masih dibayangi dengan faktor eksternal dan internal seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sampai kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menjelaskan faktor eksternal terutama ditopang oleh kebijakan bank sentral di negara maju khususnya The Fed di Amerika Serikat (AS) yang kembali menempuh pelonggaran moneter baik melalui penurunan suku bunga maupun penggelontoran likuditas.
"Selain berpeluang menjaga suku bunga global tetap rendah, melalui aksi penggelontoran likuiditas itu the Fed menambah pasokan dolar AS sehingga diharapkan membatasi tren penguatan dolar AS selama ini," kata Budi dalam Bahana Media Forum 2020 "The Black Swan Moment", di Financial Club, Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Dia mengungkapkan, banyak pihak yang menyakini jika dolar AS akan kembali memasuki siklus melemah yang melatari kenaikan harga emas akhir-akhir ini.
Selain itu, harga minyak diharapkan relatif stabil degan lebih banyak pasokan tidak hanya dari negara OPEC, namun dari produsen Shale-oil yang produksinya terus meningkat.
Menurut Budi, kondisi eksternal seperti ini pernah terjadi pada 2017 yang melandasi kenaikan harga saham dan obligasi negara di negara berkembang termasuk di Indonesia.
Kemudian untuk faktor internal, defisit neraca berjalan diharapkan terkendali berkat kenaikan harga komoditas dan menurunnya impor untuk keperluan proyek infrastruktur.
"Terkendalinya defisit neraca berjalan Indonesia merupakan faktor fundamental yang melandasi penguatan kurs rupiah," jelas dia.
Lalu dengan tren inflasi yang relatif terkendali, kestabilan rupiah tersebut memungkinkan Bank Indonesia (BI) melonggarkan likuiditas baik dengan menurunkan suku bunga dan rasio giro wajib minimum.
"Stimulus moneter ini diharapkan akan meningkatkan penyaluran kredit yang sangat penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Budi menjelaskan dengan kebijakan quantitative easing oleh bank sentral negara maju, Budi menyatakan likuiditas modal asing akan mengalir ke surat utang negara (SUN) yang menawarkan imbal hasil menarik dibanding surat utang negara berkembang lain.
"Kenaikan harga SBN yang menurunkan imbal hasil menjadi prasyarat optimisme berinvestasi di pasar saham yang juga ditopang oleh penguatan daya beli," jelas dia.
Dia menjelaskan sentimen terhadap di Indonesia sangat baik tercermin dari penurunan risiko investasi. Budi menyebut, suku bunga atau interest rate berpeluang turun 50 basis poin selama tahun ini.
(kil/dna)