100 Hari Jokowi: Edhy Prabowo Revisi Sederet Kebijakan Susi

100 Hari Jokowi: Edhy Prabowo Revisi Sederet Kebijakan Susi

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Kamis, 30 Jan 2020 14:32 WIB
100 Hari Jokowi: Edhy Prabowo Revisi Sederet Kebijakan Susi
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo/Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo sudah memasuki 100 hari kerja dalam masa jabatannya. Beragam kebijakan sudah banyak dibuat para menteri.

Beberapa di antaranya sempat menuai kontroversi. Seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo misalnya. Edhy berencana merombak kebijakan yang sempat tenar di publik dari pendahulunya, Susi Pudjiastuti.

Dari catatan detikcom yang dirangkum Kamis (30/1/2020), setidaknya ada empat kebijakan Susi yang mau direvisi oleh Edhy. Apa saja?

100 Hari Jokowi: Edhy Prabowo Revisi Sederet Kebijakan Susi
Edhy mau menyetop larangan ekspor benih lobster. Sebelumnya, di tahun 2016, Susi sebagai pendahulu Edhy mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Aturan tersebut melarang nelayan menangkap benih lobster, bahkan memperjual-belikannya. Lobster hanya boleh dikeluarkan dari perairan ketika sudah berukuran 200 gram.

Namun, kebijakan itu sedang dikaji ulang oleh Edhy. Menurutnya, ekspor benih lobster itu mata pencaharian para nelayan yang terenggut sejak 3 tahun lalu. Ia bertekad untuk memberi kesempatan bagi nelayan yang biasanya menangkap benih lobster untuk dijual dan diekspor.

"Bagaimana industri mereka? Dan ini sudah terjadi bertahun-tahun. Permen 56 itu tahun 2016. Sudah 3 tahun mereka terkatung-katung. Sekarang masih dibiarkan mereka mati," ujar Edhy kepada detikcom saat ditemui di kediamannya, Komplek Widya Chandra, Jakarta, Jumat (10/1/2020).

Permen 56 tahun 2016 itu dinilai Edhy tak berpihak pada nelayan. Pasalnya, banyak nelayan yang dipenjara karena ketahuan menangkap dan menyelundupkan benih lobster. Bahkan, menurut Edhy, ketika Permen 56 tahun 2016 itu ditetapkak, kasus penyelundupan benih lobster marak bermunculan.

"Dulu sebelum ada Permen ini kan nggak ada istilah penyelundupan-penyelundupan. Penjualan sebebas-bebasnya, di bandara, di pelabuhan. Kemudian ada pelarangan," terang Edhy.

Namun, hingga kini Edhy sendiri belum mengeluarkan keputusan apakah ekspor benih lobster benar-benar akan disetop atau tidak. Pihaknya masih melakukan kajian terhadap hal ini.

Sebelum dipimpin Edhy, KKP dikenal sebagai penenggelam kapal maling ikan ilegal, jargon 'tenggelamkan' selalu disuarakan oleh Susi sebagai pendahulunya. Namun nampaknya Edhy silang pendapat dengan Susi dalam penanganan kapal maling ikan ilegal.

Edhy memilih mengurangi praktek penenggelaman kapal ikan ilegal. Edhy menilai untuk kapal yang ilegal yang masih bagus digunakan bisa saja diberikan kepada nelayan.

"Kami berkoordinasi sama Pak Menko Maritim, akan bertemu juga dengan Kejagung, dengan (Kementerian) Perhubungan, kapal yang ada ini apa, ada ribuan kapal kan, nah hasilnya apa. Ini bagaimana kalau kita serahkan ke nelayan," kata Edhy di Menara Kadin, Jakarta, Senin (18/11/2019).

"Kalau masih bagus untuk disita negara kemudian kita reparasi untuk diserahkan ke nelayan atau koperasi," lanjutnya kala itu.

Bahkan, Edhy juga memberhentikan Satuan Tugas (Satgas) 115 atau biasa disebut satgas anti pencurian ikan dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 19 Oktober 2015 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2015. Awalnya, Satgas ini hadir untuk mengejar dan menangkap kapal maling ikan ilegal.

Lembaga ini terdiri dari lembaga lintas sektor, yakni Kejaksaan Agung RI, Angkatan Laut (AL), Kepolisian, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Menurut Edhy, meski satgas tersebut sudah tak ada, namun koordinasi antarlembaga dalam menangkap pencuri ikan tak berhenti. Menurutnya, pembentukan Satgas 115 dahulu kala karena kurang memberi kepercayaan terhadap lembaga terkait yang sudah ada.

"Dulu dibikin Satgas 115 ini karena ketidakyakinan dengan aparat yang ada. Sehingga harus bikin Satgas. Oke sudah ada, kita akan tindak lanjuti. Tapi penjagaan kita tetap jalan. Tapi saya tak mau perintah, tenggelamkan! Untuk apa? Itu bagi saya hanya sekadar cerita," terang Edhy.

Selanjutnya, Edhy juga sedang meninjau Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) atau cantrang, dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Edhy menuturkan ada sejumlah pihak yang menilai cantrang tidak berbahaya bagi lingkungan. Ia pun menegaskan bahwa rencananya ini tak berarti mencerminkan dirinya sebagai menteri perusak lingkungan. Ia menginginkan, dalam menjaga alam, ekonomi rakyat terutama nelayan harus tetap tumbuh.

"Mau hitungan ekonomi, atau hitungan lingkungan? Kalau saya memilih dua-duanya. Ekonomi tumbuh, lingkungan terjaga," kata Edhy.

Menurut Edhy, jika potensi kelautan dan perikanan Indonesia tak dimanfaatkan maka itu salah besar. Sebaliknya, jika potensi kelautan dan perikanan Indonesia hanya dimanfaatkan tanpa dijaga keberlangsungannya, maka tak ada lagi masa depan.

"Karena lingkungan terjaga, tapi tak ada pertumbuhan ekonomi untuk apa? Pertumbuhan ekonomi tanpa mementingkan lingkungan, berarti kita orang yang laknat. Ini hilang, besok sudah nggak ada lagi. Nggak ada sustainability," jelas Edhy.

Kini, Edhy juga mau memberikan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) bagi kapal 150 GT ke atas. Setelah sebelumnya, kapal jenis tersebut dilarang oleh Susi lewat surat edaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Nomor: D.1234/DJPT/PI.470. D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran Kapal Perikanan.

Menurutnya, hanya itu yang bisa menandingi nelayan asing. Akhirnya, bisa mencegah nelayan asing masuk ke Indonesia, dan memaksimalkan hasil kelautan dan perikanan. Edhy juga menegaskan, izin nelayan dengan kapal besar ini tak akan merebut lapak nelayan kecil.

"Kami sedang membuat kajian lagi kenapa dibuat 150 GT? Ya logika saya dibuat 150 GT-250 GT nggak masalah, kan dia menangkapnya jauh di luar. Jauh dari nelayan kecil," kata Edhy.

"Yang tak diperbolehkan adalah sudah diberi izin besar, merebut yang kecil. Ini yang kita atur," lanjutnya.

Hide Ads