Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah membeberkan pertimbangan pemerintah membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satu latar belakangnya mengingat produktifitas pekerja dalam negeri selama ini dinilai kurang maksimal.
Rendahnya kualitas produktivitas tenaga kerja dalam negeri dianggap para pelaku usaha tak sebanding dengan peningkatan upah minimum yang terus naik setiap tahunnya.
Salah satu keluhan datang dari perusahaan asal Jepang. Berdasarkan rilis survei terbaru Japan External Trade Organization (JETRO) terkait kondisi bisnis perusahaan Jepang di Asia dan Oceania dinyatakan bahwa sebanyak 55,8% perusahaan yang disurvei menyatakan ketidakpuasannya terhadap produktivitas tenaga kerja Indonesia bila dibandingkan dengan upah minimum yang dibayarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut rilis survei JETRO, disimpulkan bahwa tingkat ketidakpuasan tersebut jauh lebih tinggi dari rerata negara-negara di Asia Tenggara yang hanya 30,6%. Bahkan tingkat ketidakpuasan Kamboja masih di atas Indonesia dengan 54,6%," ujar Ida saat membuka Rapat Koordinasi Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi se-Indonesia Tentang RUU Cipta Kerja Substansi Ketenagakerjaan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Mengutip survei JETRO, Ida memaparkan sejak tahun 2015-2019 kenaikan upah di Indonesia pada sektor manufaktur mencapai US$ 98 setara Rp 1.352.890 (kurs Rp 13.805). Sedangkan Vietnam hanya US$ 51 atau setara Rp 704.055.
"Sementara dengan upah yang naik, tingkat produktivitas Indonesia hanya tercatat 74,4% dibanding Vietnam yang mencapai 80%. Untuk Itu, perusahaan Jepang berharap agar pemerintah Indonesia bisa melakukan pengendalian upah minimum," tambahnya.
Bila kondisi ini dibiarkan, menurut Ida hal tersebut bisa mengancam pengurangan tenaga kerja di Indonesia.
"LPEM Universitas Indonesia menyatakan bahwa upah minimum provinsi yang naik terus, bisa mengancam pengurangan tenaga kerja," imbuhnya.
Untuk itu, RUU ini dibentuk demi mengontrol kenaikan upah minimum yang sudah terjadi dalam 5 tahun terakhir agar menjaga keberlangsungan manufaktur dan ketersediaan lapangan kerja itu sendiri.
"Ketika upah minimum provinsi terus naik, maka akan mempengaruhi kenaikan biaya operasional perusahaan dan pada akhirnya akan mendorong perusahaan mengurangi jumlah pekerja," ungkapnya.
(eds/eds)