Ekonom: Pemerintah Seharusnya Tegas Cegah Mudik

Ekonom: Pemerintah Seharusnya Tegas Cegah Mudik

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 03 Apr 2020 19:30 WIB
Situasi arus mudik H-2 Lebaran di Pasar Senen
Foto: Ilustrasi mudik/Cici Marlina Rahayu-detikcom
Jakarta -

Pemerintah seharusnya tegas melarang mudik Lebaran. Para pemudik, terutama yang berangkat dari zona merah berpotensi besar untuk menyebarkan virus corona.

Di tengah virus corona yang mewabah di Indonesia, akan sangat sulit menangani virus kalau sudah menyebar ke mana-mana.

"Seharusnya kegiatan mudik Lebaran itu dicegah secara tegas karena lebih berbahaya jika pembawa virus itu pulang dan menyebarkan virus ke desa-desa, penyebaran virus ini akan jauh tidak terkontrol," ujar pengamat ekonomi dan peneliti senior pada Institut of Developing Entrepreneurship Sutrisno Iwantono kepada detikcom, Jumat (3/4/2020).

Menurutnya, sejauh ini juga banyak orang yang terlihat sehat dan tidak memiliki gejala, tapi tertular virus corona. Apabila dia melakukan mudik, potensi penularan ke orang lain di kampung halamannya akan sangat besar.

"Menurut para ahli kesehatan pembawa virus itu tidak selalu menunjukkan gejala. Bagi anak muda yang daya tahan tubuhnya baik, walaupun terinfeksi tetap sehat, tapi bisa menularkan pada orang lain," kata Sutrisno.


Iwantono juga memaparkan skenario yang yang dibuat oleh Ikatan Alumni ahli matematik Universitas Indonesia. Setidaknya ada 3 skema, besar, sedang, dan ringan.

1. Skenario 1, berlaku apabila per 1 April 2020, tidak ada kebijakan signifikan dan tegas dalam mengurangi interaksi antarmanusia. Kegiatan berjalan seperti biasa tanpa ada langkah pencegahan. puncak pandemi akan terjadi pada 4 Juni 2020, dengan 11.318 kasus baru dan akumulasi kasus positif mencapai angka ratusan ribu. Pandemi diperkirakan mereda pada akhir Agustus awal September 2020.

2. Skenario 2, berlaku apabila per 1 April 2020, kebijakan sudah ada namun kurang tegas dan kurang strategis dalam mengurangi interaksi antarmanusia. Dengan skenario ini, diperkirakan puncak pandemic akan terjadi pada 2 Mei 2020 dengan 1.490 kasus baru dan akumulasi kasus positif mencapai 60.000 kasus. Pandemi diperkirakan mereda pada akhir Juni - awal Juli 2020.

3. Skenario 3 berlaku apabila per 1 April 2020, diberlakukan kebijakan yang tegas dan strategis dalam mengurangi interaksi antarmanusia. Masyarakat disiplin mengimplementasikan physical distancing. Dengan skenario ini, puncak pandemi diperkirakan terjadi pada 16 April 2020 dengan 546 kasus baru dan akumulasi kasus positif mencapai 17.000 kasus. Pandemi diperkirakan mereda pada akhir Mei - awal Juni 2020.
Dengan skenario ini diperkirakan kasus positif hanya mencapai 17 ribu orang. Dengan puncak pandemi pada 16 April, sehingga meredanya pun bisa lebih awal atau tepatnya bulan Juni 2020.

"Pilihannya, kalau menurut pendapat saya adalah skenario ke tiga tindakan tegas melarang mobilitas orang, tujuannya jelas menyelamatkan nyawa," tegas Sutrisno.

Konsekuensi apa? Biayanya besar, iya Tetapi kalau pilihannya scenario ke 1 atau 2 pasti biayanya akan lebih besar lagi, waktunya lebih lama dan nyawa yang melayang jauh lebih banyak. Kenapa? Karena jumlah pembawa virus yang sebenarnya belum diketahui, sehingga kita tidak bisa mencegah penularannya.

Ini tercermin dari tingkat test yang masih sangat rendah di kita. Di Korea Selatan adalah 8.222 orang per 1 juta penduduk telah di tes, Amerika 3.697, Emirat 23.404, Singapura 6.666, Malaysia 1.343, Vietnam 693, dan di Indonesia hanya 25 per 1 juta penduduk (data 1 April 2020). Angka kita masih di bawah Vietnam.


Menurut Iwantono stimulus sebesar Rp 405,1 triliun jumlah ini harusnya lebih fokus untuk menjalankan skenario tegas. Jangan terbagi-bagi secara tidak efektif. Bagaimana dengan pemulihan ekonomi? Tentu pemulihan ekonomi harus dilakukan, tetapi itu langkah berikutnya. Angka Rp 405,1 triliun itu tidak besar disbanding negara lain.

"Saya ambil contoh angka stimulus di beberapa negara, misalnya saja Australia yang jumlah penduduknya lebih sedikit, tetapi anggaran stimulusnya adalah A$ 189 miliar sekitar Rp. 1.852,2 triliun (kurs Rp. 9800 per A$), atau rata-rata perkapita Rp 72,2 Juta, Kanada, anggaran stimulusnya sebesar US$138 miliar sekitar Rp 2.208 triliun (kurs Rp 16.000 per US$) atau rata-rata perkapita Rp 58,45 Juta, sedangkan Italy mengeluarkan anggaran stimulus sebesar S$ 54,4 miliar yakni sekitar Rp 450 triliun (kurs Rp 11.400 per S$) atau rata-rata perkapita Rp 7,43 Juta. Indonesia Rp 405,1 triliun atau rata-rata Rp 1,51 juta perkapita. Dari angka stimulus Rp 405,1 triliun Indonesia untuk kesehatan adalah Rp 75 Triliun atau sekitar 18%," papar Iwantono

Sepanjang virus corona tidak dihentikan, ekonomi sampai kapanpun tidak akan membaik, malah semakin parah. Baiknya kita menderita sebentar, daripada menderita berkepanjangan. Terus dari mana dananya? Menurut Iwantono pertama restrukturisasi APBN, pengeluaran yang kurang penting ditangguhkan dulu seperti pembangunan infrastruktur, apalagi anggaran untuk pindah ibu kota lupakan dulu itu.


Kalau masih tidak cukup ya ngutang, mau apa lagi, walaupun ngutang juga tidak gampang. Bunganya juga lebih tinggi, utang kita sudah tinggi, dan negara-negara lain juga memerlukan likuiditas.

"Kalau kita tidak segera mengkarantina daerah-daerah epicentrum seperti Jakarta ini, dan beberapa epicentrum lain, bagaimana jika propinsi lain yang sekarang jumlah terinfeksi masih relative kecil berpola sama dengan Jakarta, tidak terbayang mau seperti apa Indonesia. Semua itu perlu dana," tuturnya.



Simak Video "Video: Polisi Lampung Kawal Pemudik Sepeda Motor di Malam Hari"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads