Tahun ini menjadi titik terendah bagi milliuner Masayoshi Son sebagai orang terkaya di Jepang. Perusahaan milik Son, Softbank pekan lalu mengalami kerugian dari total investasinya senilai US$ 100 miliar yang disalurkan ke Vision Fund.
Visi orang terkaya di Jepang ini yang ingin menjadikan Softbank menjadi kerajaan teknologi global kini terganggu, akibat kerugian Vision Fund di tengah pandemi Corona.
Konglomerat Jepang itu telah mentranformasikan Softbank menjadi investor teknologi selama tiga tahun terakhir. Namun, semua rencana tidak berjalan mulus. Uber yang telah mendapatkan dukungan dari Vision Fund telah mengalami kerugian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian ada WeWork yang telah diguyur US$ 10 miliar sejak 2017, tidak jelas ke mana uang tersebut mengalir. Ditambah lagi gagalnya IPO WeWork tahun lalu, dia memilih menanamkan modal di startup dengan konsep sharing-economy. Namun, investasi itu terpukul ketika pandemi Corona.
Pada akhirnya orang yang membiayai Grab ini merencanakan penempatan baru pada manajemen WeWork dan mengubah rencana perusahaan yang baru. Hal ini dilakukan guna menumbuhkan kembali penilaian WeWork yang telah mengecewakan banyak pihak.
Saham SoftBank diperdagangkan dengan diskon 73%. Demi memutar keadaan, Son menempatkan kesepakatan investasi senilai US$ 20 juta kepada perusahaan terbesar dengan saham senilai US$120 miliar, Alibaba.
Menghadapi masa sulit, miliuner Jepang ini juga memutuskan untuk melepas sebagian aset senilai US$ 41 miliar (Rp 637 triliun) guna buyback saham dan melunasi utang. Adapun saham yang dijual Softbank yakni sahamnya di Alibaba Group Holding sebagai upaya mengatasi krisis akibat virus Corona.
Masalah pada WeWork menjadi kerugian tertinggi, sekitar jutaan dolar lenyap. Hal tersebut membuat reputasi Son sebagai miliuner jenius kini anjlok akibat investasinya terlihat tertipu oleh WeWork. Namun, Son menganggap masa sulit ini bukan sebuah ilmu tetapi seni.
"Selalu sulit, tetapi ini bukan soal ilmu melainkan seni seorang wirausahawan terus bergairah akan bisnisnya walaupun tidak selalu memberikan hasil yang bagus," ujar Son, seperti dikutip dari Forbes, Senin (4/5/2020).
Miliuner berusia 62 tahun ini terus mengepakkan sayap bisnisnya dengan melacak perusahaan besar lain untuk menempatkan investasinya. Saham Softbank sempat melonjak setelah Son memenangkan persetujuan menjual Sprint Corp kepada T-Mobile.
Dengan ini Son membuktikan bahwa sebanyak apapun terpaan baginya dan perusahaannya, visinya dalam berbisnis tidak akan pernah pupus. Dia memastikan akan menuai kembali miliaran uang miliknya.
Pria keturunan Korea ini juga sempat melebarkan sayap investasinya di New York. Son mengundang beragam perusahaan portofolio, termasuk dua pendatang baru, yakni perusahaan baru penguji darah Karius, yang mengumpulkan US$ 165 juta di bawah pimpinan SoftBank dan apoteker digital berbasis di San Francisco, Alto Pharmacy, di mana SoftBank baru saja menginvestasikan US$ 200 juta dari kasnya sendiri.
Kegilaan investasi Son ini mengkhawatirkan para investor di Softbank. Mereka khawatir Softbank disetir oleh 'orang gila' yang terus melakukan investasi walaupun uangnya tidak tersisa satu sen pun.
Analis New Street Research, Pierre Ferragu menghitung kini Softbank tidak memiliki kepercayaan di pasar saham dan modal. Hal ini ditakutkan bahwa kasus WeWork dan Uber hanya kerugian permulaan saja. Namun, Ferragu tetap optimistis dengan saham Softbank.
Sebagai pemegang saham terbesar sejauh ini. Son mengendalikan Softbank sebagai pemilik dan mengendalikan Vision Fund sebagai salah satu dari tiga anggota komite investasi. Maka, di sini permainan menang atau kalah akan ditentukan dalam bisnis.
Son telah lama menjadi salah satu ritus peralihan besar bagi para pengusaha teknologi yang ambisius. Ketika Steve Jobs memperkenalkan iPhone ke dunia, Son lah yang meyakinkannya untuk datang ke Jepang, mendapatkan hak eksklusif untuk mendistribusikan produk hit di negara itu selama tiga tahun.
Hidup Son dihabiskan sebagian besar di Jepang, tetapi dirinya memiliki rumah di Amerika Serikat. Rumahnya dengan luas 9.000 meter persegi ada di Wooside. Ia membeli rumah itu pada 2012 dengan harga US$ 118 juta, termasuk salah satu yang termahal di AS. Kini secara bersih kekayaan konglomerat Jepang ini sebesar US$ 22,7 miliar atau sekitar Rp 340 triliun.
(eds/eds)