Jakarta -
Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) memprediksi virus Corona (COVID-19) bisa berdampak pada krisis pangan dunia, salah satunya Indonesia. Prediksi tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat saat ini.
Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah mengatakan ancaman krisis pangan terjadi karena kegiatan logistik hingga proses impor yang terganggu akibat pandemi. Kelangkaan barang seperti gula yang terjadi saat ini pun tak bisa dihindari.
"Jadi ada beberapa daerah yang PSBB misalnya, terus logistiknya terganggu atau bahkan ekspor impor. Yang paling nyata ancamannya di kita saat ini masalah gula, itu kita masih impor dari India salah satunya tapi dia lockdown, nggak bisa toh. Ini yang menjadikan akhir-akhir ini gula langka," kata Rusli kepada detikcom, Kamis (7/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal beras, Rusli bilang, akhir tahun Indonesia diperkirakan surplus 2,8 juta ton yang hanya cukup untuk kebutuhan satu bulan. Sedangkan pasokan beras akhir tahun dikatakan aman jika surplus 8 juta ton untuk kebutuhan selama tiga bulan ke depan sambil menunggu masa panen raya di Maret 2021.
"Kita akan aman kalau surplus berasnya 8 juta ton itu untuk makan kita tiga bulan ke depan sembari menunggu panen raya di bulan Maret tahun berikutnya. Tapi kalau surplusnya cuma 2,8 juta ton kita hanya bisa makan sampai bulan Januari doang karena kebutuhan makan sebulan 2,5 juta ton, sedangkan Januari belum ada panen raya," ucapnya.
Rusli menyebut beberapa negara eksportir beras seperti Vietnam, Taiwan, dan India juga sudah membatasi pengiriman ke Indonesia. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
"Kalau keadaan normal bulan-bulan ini sudah mulai impor untuk stok di akhir tahun nanti. Masalahnya mereka nggak mau buka ekspornya karena mereka mementingkan kebutuhan domestik mereka dulu," ungkapnya.
Pemerintah pun berencana untuk mencetak ratusan ribu hektare (Ha) lahan sawah baru untuk menangkal krisis pangan. Tepat?
Rusli menilai cetak sawah baru harusnya untuk jangka panjang. Bukan untuk menjawab prediksi FAO yang dinilai darurat di masa pandemi COVID-19.
"Yang dikatakan FAO itu untuk jangka pendek krisis pangan gara-gara ada pandemi COVID-19. Dalam jangka panjang memang perubahan iklim jadi ancaman semua negara salah satunya Indonesia. Tapi respons Indonesia yang cetak sawah itu untuk jangka panjang bukan untuk pandemi ini, jadi semacam ada salah respons kebijakan," kata Rusli.
Menurutnya, program cetak sawah ini bukan jawaban atas permasalahan karena hasilnya baru akan terlihat beberapa tahun mendatang. Sedangkan masalah krisis pangan akibat adanya pandemi sudah di depan mata.
"Krisis pangan ini kan sudah di depan mata tapi instruksinya adalah cetak sawah yang notabenenya nggak bisa dinikmati dalam beberapa bulan ke depan. Hasilnya belum bisa dilihat beberapa bulan ke depan," jelasnya.
Rusli tidak menampik jika ada kekhawatiran presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap ramalan FAO dengan merespons cepat lewat cetak sawah baru. Namun respons yang diambil itu dinilai kurang tepat untuk jangka pendek.
"(Jokowi) khawatir saya yakin karena surplus (beras) kita cuma 2,8 juta ton per tahun itu sangat kecil sekali. Kita akan aman kalau surplus berasnya 8 juta ton itu untuk makan kita 3 bulan ke depan sembari menunggu panen raya di bulan Maret tahun berikutnya," ucapnya.
Untuk antisipasi adanya kelangkaan beras, Rusli menilai pemerintah dari sekarang harus melakukan diversifikasi makanan pokok dari beras menjadi seperti kedelai, sagu, dan singkong.
"Nah ketika akhir tahun berasnya langka ya udah masyarakat kalau mau beli sumber karbohidrat dia memiliki sumber alternatif ada singkong, kedelai, dan sagu," kata Rusli.
Selain untuk antisipasi, cara ini dinilai bisa menjadi sumber aktivitas ekonomi baru. Selain itu juga, untuk mengurangi ketergantungan impor beras karena ketiga komoditas tersebut tersedia di Indonesia.
"Dulu singkong hanya panen terus sudah, sekarang bisa diolah jadi nasi oyek misalnya. Di sisi lain akan meningkatkan aktivitas ekonomi baru. Kita dalam jangka panjang harus mengurangi beras," ujarnya.
Simak Video "Video: Krisis Pangan di Gaza yang Memilukan"
[Gambas:Video 20detik]