Ada Ancaman Lingkungan di Balik Rencana Cetak Sawah Baru

Ada Ancaman Lingkungan di Balik Rencana Cetak Sawah Baru

Vadhia Lidyana - detikFinance
Jumat, 08 Mei 2020 16:55 WIB
Foto aerial sejumlah petani menanam padi di areal persahawan Desa Pesarean, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (10/1/2020). Kementerian Pertanian menargetkan cetak sawah baru naik dari 6.000 hektar pada 2019 menjadi 10.000 hektare pada 2020 dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp200 miliar untuk merealisasikan cetak sawah.  ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/ama.
Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Jakarta -

Pemerintah berencana mengoptimalisasi 900.000 hektare (Ha) lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk jadi lahan persawahan baru. Hal ini merupakan upaya pemerintah mengantisipasi prediksi krisis pangan karena kekeringan dari Food Agriculture Organization (FAO).

Namun, menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi, ada ancaman ekologis yang membayangi rencana tersebut.

"Gambut itu punya sensitivitas ekologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan lain, misalnya vulkanis kering. Artinya ya jangan sampai membuka lahan gambut itu, mengorbankan aspek-aspek ekologis tadi yang dampak lingkungan yang lebih serius," ungkap Bayu ketika dihubungi detikcom, Jumat (8/5/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, Bayu yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) periode 2010-2011 mengatakan, menanam padi di sawah dari lahan gambut punya risiko lebih tinggi ketimbang menanam tanaman lainnya.

"Sawit saja yang tanaman perkebunan, bukan tanaman setahun, jadi sekali ditanam akan tumbuh terus. Atau HTI yang sekali ditanam dan tumbuhnya bertahun-tahun itu saja selama ini dibatasi, sangat dikendalikan pertanamannya di gambut. Apalagi untuk sawah, pertimbangannya ekologis memang apa pun untuk di gambut itu," urainya.

ADVERTISEMENT

Ia sendiri memahami bahwa dengan prediksi FAO maka pemerintah tak bisa santai saja dalam mengelola pertanian. Namun, menurutnya mengambil langkah optimalisasi lahan gambut merupakan langkah yang 'terburu'buru'.

"Yes ada warning dari FAO, yes itu serius, kita tidak bisa berleha-leha, berlebih-lebih dengan makanan kita. Kita harus sangat cermat, sangat aware, sangat memantau dengan sangat baik. Tetapi juga nggak perlu dengan itu kemudian menabrak ekosistem kan juga enggak. Kemudian kita melupakan kesalahan-kesalahan masalah lalu kan juga enggak," tegas dia.

Dalam hal ini, Bayu menyinggung program 1 juta sawah gambut yang dulu dicanangkan Presiden ke-2 RI Soeharto.

"Kita sudah punya pengalaman yang tidak terlalu berhasil. Di zaman Pak Harto itu dulu namanya lahan 1 juta gambut. Sekarang kan 900.000, ya dekat-dekatlah. Dan itu tidak terlalu berhasil. Yang jadi cuma berapa, sangat kecil dibandingkan 1 juta Ha," pungkasnya.




(fdl/fdl)

Hide Ads