"Dampak COVID-19 ini sangat luar biasa mulai dari kesehatan, sosial, terutama ekonomi. Sehingga ini menjadi tugas kita sebagai pengawas untuk menjaga program-program yang ada untuk dilakukan secara cepat dan akuntabel. Karena, sebagaimana yang sudah disampaikan, ini tinggi sekali faktor risikonya," tutur Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh dalam dalam seminar bertajuk 'Tantangan Akuntabilitas Keuangan Negara di Tengah Masa Pandemi COVID-19', Selasa (9/6/2020).
Ateh menjabarkan berbagai pengeluaran yang sudah dilakukan pemerintah terkait penanggulangan COVID-19 tersebut. Bila tidak dikontrol dengan baik, bisa-bisa pengeluaran tersebut terus membengkak.
"Anggaran yang sudah direncanakan itu besar sekali. Untuk belanja negara ini ada Rp 438,93 triliun, lalu ada Rp 141,16 triliun untuk PNM, penempatan dana dan penjaminan, kemudian ada tambahan belanja K/L dan sektoral sebesar Rp 82,41 triliun dan jumlah ini akan terus meningkat karena risikonya ini belum termitigasi secara baik," tuturnya.
Tak hanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jadi korban, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) juga menemui risiko serupa.
"Di daerah juga dilakukan refocusing dan realokasi anggaran sampai dengan 28 Mei 2020, itu sudah sebesar Rp 67,06 triliun, juga ada Anggaran Pendapatan Dana Desa yang berupa BLT-DD, yang hitungan rencananya Rp 4,55 triliun, tapi baru terealisasikan Rp 2,24 triliun," tambahnya.
Besarnya pengeluaran pemerintah untuk menanggulangi COVID-19 ini perlu diawasi secara internal. Tujuannya agar semua rencana anggaran tersebut sampai tepat sasaran dan tidak terjadi pembengkakan yang tidak perlu di kemudian hari.
"Ini tantangan bagi kita semua untuk menjaga anggaran ini semua bersama-sama agar tetap sasaran, itulah urgensi pengawasan interen, karena interen ini harus mengawal dari awal," tandasnya.
(dna/dna)