Pemerintah mengizinkan maskapai menaikkan harga tiket pesawat hingga menyentuh tarif batas atas (TBA) di tengah pandemi Corona (COVID-19) ini. Izin diberikan menimbang pemberlakuan batasan kapasitas penumpang sebanyak 70% dari total kursi yang tersedia.
Sekaligus demi menyelamatkan keuangan industri penerbangan itu sendiri yang kini tengah diuji oleh pandemi COVID-19. Menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi sebenarnya ada opsi lain selain mengizinkan maskapai menaikkan tarif tiket pesawatnya. Pemerintah bisa memberi subsidi bagi para maskapai ini.
"Kan maskapai cuma boleh menampung 70% penumpang, sisanya siapa yang nanggung? Mereka kan tidak mungkin menjual rugi. Paling pilihannya pemerintah punya tidak uang untuk mensubsidi maskapai, artinya ini ada tanggung jawab negara untuk memberi stimulus fiskal kepada maskapai untuk menutup kerugian akibat kekosongan 30% tadi," ujar Tulus kepada detikcom, Selasa (16/6/2020).
Adapun subsidi yang dimaksud bisa saja berbentuk bantuan dana segar langsung atau melalui kebijakan fiskal lainnya seperti membebaskan tarif parkir pesawat.
"Subsidi itu bisa langsung maupun tidak langsung misalnya parkir di pesawat yang nganggur juga itu bisa didiskon bahkan dibebaskan saja biaya parkir itu, karena 7% pesawat itu nganggur, tidak terbang, artinya tidak ada income, sementara parkirnya mahal dan harus bayar. Itu bisa saja pemerintah mengatur itu agar sepanjang musim pandemi itu ditiadakan atau didiskon atau policy yang lain," tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio. Menurutnya Agus pemerintah bisa membantu maskapai menambah modal atau maskapai diminta lebih aktif mencari sumber modal sendiri di luar dana dari pemerintah.
"Ya tambah modal, kalau Garuda bisa dari pemerintah, kalau yang swasta tambah modal cari sendiri," kata Agus kepada detikcom.
Sebab, menurut Agus bila tarif tiket pesawat dinaikkan bisa berisiko mengurangi jumlah penumpang itu sendiri. Bisa-bisa penumpang memilih naik transportasi lain selain pesawat.
"Kan risikonya kalau dinaikkin ya mungkin tidak ada yang naik, ya itu risiko maskapainya sendiri. Sekarang ini kan bukan hanya masalah harga, orang itu pergi susah, mulai dari persyaratannya, harus 4 jam sebelum berangkat sudah di bandara, kalau sama-sama Jawa, orang pasti milihnya mending naik mobil," tandasnya.
(hns/hns)