10 Tanda Ekonomi RI Diproyeksi Menuju Minus

10 Tanda Ekonomi RI Diproyeksi Menuju Minus

Tim detikcom - detikFinance
Kamis, 25 Jun 2020 12:00 WIB
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam laporan Sidang Parupurna DPRD menyebut pertumbuhan ekonomi di provinsi yang dipimpinnya pada 2014 mencapai 5,95%. Namun, inflasinya juga tinggi, mencapai 8,95%.
Ilustrasi/Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Indonesia menjadi negara yang tak luput dari keterpurukan ekonomi lantaran serangan virus corona (COVID-19) yang telah menjadi pandemi. Ekonomi Indonesia pun diproyeksi bakal mengalami kontraksi hingga menuju zona negatif pada kuartal II tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ekonomi Indonesia bisa minus 3,1-3,8% pada kuartal II-2020. Jika pertumbuhan kembali minus di kuartal III, maka Indonesia bisa masuk ke dalam zona resesi.

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi pendorong utama terbatasnya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Untuk itu, saat ini pemerintah mulai melakukan pelonggaran PSBB dengan harapan ekonomi pada kuartal III mulai bisa bangkit kembali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip CNN Indonesia, Kamis (25/6/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 70,53% responden dengan tingkat pendapatan Rp 1,8 juta per bulan mengalami penurunan pendapatan sejak pandemi COVID-19.

Setidaknya ada 10 faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksi bakal terkontraksi hingga negatif pada kuartal II-2020.

ADVERTISEMENT

1. Penurunan tingkat pendapatan masyarakat

Selain masyarakat dengan pendapatan 1,8 juta per bulan, penurunan pendapatan juga dirasakan oleh 30,3% responden bergaji tinggi di atas Rp 7,2 juta per bulan. Namun demikian, dampak COVID-19 memang lebih dalam ke masyarakat berpendapatan rendah.

2. Penurunan pertumbuhan sektor-sektor industri

Penurunan pertumbuhan sektor-sektor industri masih berlanjut pada kuartal II 2020. Mulai dari perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, konstruksi, serta transportasi dan pergudangan.

3. Penurunan penjualan kendaraan bermotor

Penurunan penjualan motor ini sangat merepresentasikan pengeluaran golongan menengah ke bawah. Data BPS mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 40,5% pada kuartal I 2020, namun penjualan kembali turun sekitar 93,21% pada April-Mei 2020.

Begitu pula dengan penjualan motor yang turun 17,25% pada kuartal I 2020, kini sudah turun 79,31% pada April-Mei 2020.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

4. Penurunan transaksi elektronik

Transaksi elektronik masyarakat diperkirakan bakal turun sekitar 18,66% pada kuartal II dari yang sebelumnya hanya turun 1,07% pada kuartal I.

5. Penurunan jumlah penumpang angkutan udara

Jumlah penumpang angkutan udara diperkirakan turun lebih dalam dari 13,62% pada kuartal I 2020 menjadi minus 87,91% pada kuartal II 2020.

6. Tingkat inflasi rendah

Tingkat inflasi secara bulanan pada Mei 2020 tercatat cukup rendah di 0,07%. Hal ini menjadi indikasi adanya pelemahan daya beli dengan pergerakan inflasi inti yang turun tajam.

7. Ekspor turun tajam

Ekspor turun lebih tajam hingga 28,9% pada Mei 2020, meski impor juga turun 42% pada bulan yang sama.

8. Penurunan jumlah wisatawan mancanegara

Selain menambah devisa, penurunan jumlah wisatawan tentu memberi efek ke berbagai lini yang berhubungan dengannya. Hal ini terlihat dari penerbangan Jakarta-Surabaya yang turun 96%, dan ke Denpasar turun 95% karena untuk berpergian butuh berbagai surat yang agak merepotkan.

9. Penurunan harga komoditas

Ada penurunan harga komoditas, seperti karet dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) yang selanjutnya turut menurunkan Nilai Tukar Petani (NTP).

10. Penurunan jumlah iklan lowongan kerja

Ada penurunan jumlah iklan lowongan kerja yang cukup tajam pada Mei 2020. Jumlah perusahaan yang menawarkan iklan lowongan juga turun lebih dari 50%. Hal ini tentu juga akan berdampak ke sektor riil.


Hide Ads