"Kita memulai iseng di rumah, awalnya Chef Afit itu kan kalau ketemu klien di restoran dan pasti cari tempat paling mahal, itu wagyu (sejenis daging sapi dari Jepang), eh ternyata enak, itu daging apa ya? Jadi 'wa' itu Jepang, 'gyu' itu sapi. Jadi sapi dari Jepang. Kenapa nggak kita coba saja?" ujarnya dalam acara d'Preneur di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2016).
![]() |
Selain dari keisengannya itu, Lucy berpikir, memutuskan berbisnis itu sama halnya dengan memutuskan tempat yang ingin kita tuju. Salah jalan di awal akan kejebak selanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kembali soal keisengan tadi, Lucy mulai mencoba mencari wagyu tadi di supermarket. Setelah itu, barulah dicoba dimasak dengan hanya mencampurkan garam dan lada saja dan ternyata rasanya enak.
"Jadi kita cari daging di supermarket waktu itu nggak ada dan akhirnya nemu di Indoguna, kita cuma kasih garam dan lada hitam ternyata empuk, Afit mulai berpikir, kenapa nggak bikin saja, karena kita berdua nggak punya background soal food and beverage cuma tahunya makan doang, makanya kita cari tahu," jelas dia.
![]() |
Dari situ, Lucy bersama Chef Afit mulai merangkai bisnis kuliner.
Saat itu, tahun 2010, harga sepiring wagyu dijual rata-rata Rp 300.000. Lucy dan Chef Afit menjualnya dengan harga Rp 90.000.
"2010 kita jual Rp 90.000 satu piring wagyu padahal waktu itu rata-rata Rp 400.000-Rp 500.000. Jadi kita pakai konsep 30% profit dari 100%, sementara yang lain 70% untuk profit," kata dia.
Tapi jangan lupa, berbisnis itu harus dilakukan dengan serius dan jangan lupa tumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tentu sangat penting untuk tahu jika makanan yang dihidangkan halal.
"Kita pernah datang ke peternakan Holycow dam mereka sangat jaga aspek kehalalan, kita lihat prosesnya seperti apa, mulai merawat sampai penyembelihan sapinya," papar dia. (drk/dna)