Cerita awal keduanya membuat sepeda kayu dimulai pada 2014, keduanya terlebih dahulu melakukan riset hingga 10 bulan hingga akhirnya jadi produk pertama di 2015.
"2014 awal mulai riset 9-10 bulan karena juga kan kita support tidak ada, apa-apa sendiri. Akhirnya baru bisa jadi sepeda di 2015 akhir itupun belum sempurna, sempurnanya di 2016. Belum sempurna karena masih ada keretakan, kekuatan kurang, daya tahan terhadap cuaca lemah. Setelah research and development 2016 akhir mulai beranikan bikin beberapa prototipe," kata Maulidan saat berbincang dengan detikFinance pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Alasan Didi dan Maulidan membuat sepeda kayu tidak terlepas dari memanfaatkan limbah kayu karet yang potensi penggunannya bisa lebih baik lagi dibandingkan menjadi kayu bakar. Selain itu, masalah solusi dan kemacetan di kota besar seperti DKI Jakarta coba dijawab lewat terobosan ini.
Pembuatan frame sepeda dari limbah kayu karet dilakukan dengan merekatkan 12 lapis kayu hingga ketebalan tertentu menggunakan lem. Mengambil filosofi sapu lidi, semakin banyak lapisan kayu karet membuat frame sepeda semakin kuat.
Sampai saat ini ada lima model sepeda Kayuh, antara lain Kayuh Minivello, Kayuh Minivello Batik, Kayuh Folding Bike, Kayuh Bali Monocoque, dan Kayuh Bali Electric.
Harga sepeda dipatok mulai dari Rp 3,5-5 juta per unitnya dan jika pembeli ingin menambah mesin listrik bisa membelinya dengan harga Rp 5 juta untuk dipasang di sepeda.
![]() |
Sepeda Kayuh dibuat di kawasan Tapos, Depok, Jawa Barat. Di sebuah workshop ini, 50 sepeda kayu bisa dibuat setiap bulannya.
Dari 2017 sampai saat ini, sudah ada 112 sepeda Kayuh yang diproduksi dan sudah dipesan banyak daerah di Indonesia. Pihaknya pun tengah menjajaki penjualan sepeda Kayuh ke Barcelona, Spanyol.
Dengan produksi hingga 50 unit per bulannya, Didi dan Maulidan mampu mengantongi omzet hingga Rp 200 juta.
"Omzetnya bisa sekitar ya range Rp 150 juta ke atas sampai Rp 200 juta sebulan," katanya. (hns/hns)