Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang Mendunia

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang Mendunia

Wisma Putra - detikFinance
Rabu, 16 Okt 2019 12:38 WIB
1.

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang Mendunia

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang Mendunia
Foto: Sarung Ibun (Wisma Putra/detikcom)
Majalaya - Industri tekstil di wilayah Majalaya Kabupaten Bandung, Jawa Barat kian lesu. Dari 400 lebih pabrik tekstil, kini hanya tersisa 340 pabrik, sedangkan lainnya bangkrut dan harus gulung tikar. Hal itu berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran.

Majalaya, salah satu kecamatan yang ada di wilayah timur Kabupaten Bandung pernah berada di puncak kejayaan sebagai wilayah penghasil produk tekstil terbesar di Indonesia, hingga Majalaya dikenal sebagai Kota Dollar. Namun, seiring berkembangnya waktu produk tekstil Majalaya kalah bersaing sejak dibukanya keran impor tekstil dari Cina.

Adalah Yanti Lidiati, seorang perempuan kelahiran Kediri tahun 1966 dan memiliki ibu bernama Tjijih Rukaesih asli Majalaya, rela meninggalkan profesinya sebagai wanita karir di Jakarta demi mengabdi kepada masyarakat dan milik misi mengembalikan kejayaan produk tekstil Majalaya yaitu sarung Majalaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melalui tangan kreatifnya, sarung yang biasa kita gunakan untuk beribadah bisa dibuat menjadi busana yang fashionable, salah satunya dibuat menjadi blazer. Sejak resign dari pekerjaannya, Yanti berhasil memberdayakan kaum milenial di antaranya siswa di SMK An-Nur Ibun dan ibu-ibu diusia produktif yang tergabung ke dalam PKBM An-Nur Ibun membuat produk blazer dari bahan baku sarung.

"Saya ingin agar pengusaha sarung di Majalaya, Ibun dan sekitarnya dapat memberdayakan masyarakat dengan membuat inovasi dari potensi lokal. Sarung sarung sarung. Sarung bisa dibuat apa saja, yang saya buat di sini all about sarung bagaimana bisa bawa blazer ini ke ujung dunia atau istilahnya ke luar Ibun," kata Yanti kepada detikcom, Jumat (4/10/2019) di SMK An-Nur Ibun.

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang MenduniaFoto: Sarung Ibun (Wisma Putra/detikcom)

Yanti mengungkapkan, para pengusaha sarung Majalaya harus berinovasi. Seperti di ketahui, pasar sarung hanya ramai ketika menjelang idul fitri atau momen seperti menjelang pemilu. Ia juga berujar, para pengusaha sarung Majalaya harus mampu bersaing, karena persaingan yang terjadi saat ini bukan hanya dengan pengusaha di Indonesia saja, tapi dengan pengusaha di luar negeri.

"Menurut saya, tanpa ada persaingan tidak akan keluar dari zona nyaman. Dengan adanya persaingan, tugas kita bagaimana menumbuhkan inovasi, kita merasa yakin kita adalah leader, kita bangga, rejeki sudah ada yang mengatur, kita berbuat jangan sampai ada kata kalah bersaing. Tanpa ada persaingan saya pikir tidak akan maju, dengan persaingan kita akan terus berinovasi dan kita tidak akan berhenti belajar, jika kita berhenti belajar kita akan jatuh karena tidak bisa keluar dari zona nyaman," ungkapnya.

Yanti yang kini menjadi Ketua Yayasan SMK An-Nur Ibun, menggantikan ibunya yang sudah sepuh menjelaskan, melalui produk blazer sarung itu, ibu-ibu yang tadinya tidak memiliki penghasilan kini menjadi memiliki penghasilan tambahan dan membantu meringankan beban suaminya.

"Pertama saya datang ke sini lihat ibu-ibu di usia produktif hanya memiliki aktivitas mengantarkan anaknya sekolah. Padahal di usianya itu mereka bisa memiliki penghasilan tambahan dan tidak menganggu pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Saya ajak mereka masuk PKBM An-Nur dan berhasil membuat blazer sarung ini," jelasnya.

Menurutnya, tak seperti membalikan telapak tangan sendiri untuk mengenalkan blazer sarung yang ia namai 'its Blazer Ibun' ke pasaran. Untuk meyakinkan konsumen, Yanti harus mengenakan blazer sarung dalam setiap aktivitasnya.

"Saya pernah ada undangan khusus di Surabaya, di undangan tertera harus pakai batik. Karena saya punya blazer sarung ya saya pakai ini, saya cari motif yang ada sedikit motif batik. Pas di acara banyak yang lihatin saya, saya tetap percaya diri, pas selesai acara ada yang nanya. Inikan sarung? Iya, sarung, tapi sarung bisa jadi busana yang bagus kalau bisa membuatnya. Dan orang itu sekarang jadi reseller saya asal Surabaya," ujar Yanti sambil menunjukan blazer sarung warna cokelat yang dikenakannya.

Tak hanya itu, inovasi membuat blazer sarung muncul setelah produk sarung Majalaya digempur oleh produk tekstil luar negeri. Menurutnya, saat ini sarung tidak hanya diproduksi di Indonesia saja.

"Sekarang persaingan sarung, sudah diproduksi di beberapa negara. Saya tetap harus mengangkat dan membawa sarung sampai ke luar dan berinovasi khususnya sarung Ibun atau Majalaya (Ibun sebelumnya masuk wilayah Majalaya) ini agar memiliki nilai jual," ujarnya.

Tak hanya kepada para ibu-ibu yang ada di sekitar rumahnya. Keterampilan membuat blazer sarung ini juga di tularkan Yanti kepada anak didiknya yang berada sekolah di SMK An-Nur Ibun. Meskipun ia memiliki jabatan sebagai Ketua Yayasan, Yanti turun langsung mengajarkan anak didiknya untuk membuat blazer sarung yang memiliki kualitas dan nilai jual tinggi. Hal itu bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Sarung Majalaya itu sendiri.

"Pada saat blazer sarung ini mau dijual, kita harus menjual produk yang memiliki kualitas dan kita tetap bangga dengan sarung. Tapi yang paling penting jaga kualitas itu nomor satu, sebagus apapun kalau tidak bisa jaga kualitas akan kalah saing dengan dunia luar. Karena produksi sarung tidak hanya di Indonesia, tapi merambah ke beberapa negara yang memproduksi sarung. Ini tugas kita bagaimana menjaga, menginovasi dan tetap bangga dengan produk lokal," ujarnya.

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang MenduniaFoto: Sarung Ibun (Wisma Putra/detikcom)

Yanti kini merasakan kehidupan yang sebenarnya, setelah hampir 20 tahun lebih ia mengabdi sebagai karyawan dengan kedudukan strategis di salah satu perusahaan besar di Jakarta dengan penghasilan yang sangat menjanjikan.

"Saya merasa mendapatkan sesuatu yang jauh dalam kehidupan ini, mendapatkan kepuasan batin yang tidak bisa dihargai dengan uang. Di situlah arti kesuksesan, meski saya belum sukses, saya merasa belajar banyak di sini, belajar tidak hanya ilmu tapi belajar ilmu kehidupan yang mungkin di dalam buku tidak ada," paparnya.
Puluhan Siswa SMK An-Nur Ibun sibuk mengambar disain pakaian di atas buku gambar berukuran 30x60 sentimeter. Dengan menggunakan pensilnya masing-masing, para siswa nampak cekatan dalam membuat pola pakaian dengan mengikuti arahan guru pembimbing.

Sementara itu, di ruang sebelah atau ruang tata busana nampak puluhan siswa lainnya sedang melakukan praktek menjahit. Meski skill menjahit para siswa ini masih di bawah rata-rata, siapa sangka produk pakaian yang mereka buat yaitu blazer sarung sudah di pasarkan ke sejumlah negara di ASEAN.

Kepada detikcom, salah satu siswa menunjukkan cara membuat blazer sarung, satu buah sarung berwarna coklat di gelar di atas meja, pola blazer langsung dibuat di atas kain itu, setelah membuat pola, kain sarung tersebut langsung di gunting dan dilanjutkan ke proses menjahit.

Hasil karya para siswa ini dipajang rapi di sebuah ruangan berukuran 10x5 meter yang sekaligus dijadikan sebagai galeri blazer sarung yang berada di kediaman Yanti. Beragam model, hingga warna blazer sarung ada di galeri tersebut, siapa sangka sarung yang sebelumnya biasa digunakan untuk beribadah kini disulap menjadi pakaian yang ciamik digunakan.

Agar menghasilkan produk blazer sarung yang berkualitas, Yanti menekankan kepada para siswa agar tetap disiplin dalam membuat sebuah karya. Menurutnya, produk yang ia jual itu adalah seni dan bukan sebagai produk blazer biasa. Satu senti meter pun karya blazer yang dibuat mereka beda, maka akan mempengaruhi hasil.

"Merekalah generasi milenial, mereka jangan hanya tahu hasil, tapi harus tahu proses. Proses membuat karya yang baik, berkualitas dan memiliki nilai jual," ujarnya.

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang MenduniaFoto: Sarung Ibun (Wisma Putra/detikcom)


Menurutnya, blazer sarung yang dibuat oleh para siswa tidak hanya dipasarkan di Indonesia tapi sudah merambah ke negara-negara ASEAN. "Its Blazer Ibun sudah sampai ke Thailand, Jepang, Kuala Lumpur dan sejumlah negara lainnya. Sedangkan di Indonesia kita sudah ada pangsa pasar sendiri yaitu di Surabaya dan Bali," ujarnya.

Yanti mengajarkan para siswa dalam menjalankan sebuah usaha agar tidak berpaku pada money oriented. Dirinya kerap mengingatkan anak didiknya agar lihatkanlah karya terlebih dahulu dan jangan dulu bertanya seberapa besar harga karya yang mereka jual.

"Jangan pernah berhitung dulu, kesuksesan akan datang dengan usaha yang kita lakukan saat ini. Kita tekankan itu, jangan berpikir berapa uang yang akan kita dapat, tapi kita harus berpikir apa yang kita berikan. Kalau mereka sudah money oriented tidak mengejar kualitas pada akhirnya mereka sendiri yang tidak akan sukses," jelasnya.

Blazer sarung yang ia buat dijual Rp 200-400 ribu. Harga tersebut bisa menjadi lebih mahal bila dijual ke luar negeri, karena bahan baku blazer sarung yang ia jual ke luar negeri merupakan blazer sarung yang memiliki kualitas nomor satu.

Melawan Serbuan Impor, Sarung Ibun Menjelma Jadi Blazer yang MenduniaFoto: Sarung Ibun (Wisma Putra/detikcom)


Ada dua macam bahan baku blazer sarung yang ia jual, ada yang berbahan baku dari sarung yang dibuat menggunakan mesin, ada juga bahan baku sarung yang dibuat dari alat tenun bukan mesin (ATBM). Bahan baku sarung itu sendiri dibeli Yanti dari sejumlah pengusaha sarung yang ada di Ibun dan Majalaya.

"Saya ingin mensejahterakan masyarakat disini, khususnya para ibu-ibu dengan memiliki pemasukan tambahan," tambahnya.

Tak hanya dapat dijadikan blazer, sarung juga bisa dijadikan kemeja dan beragam model pakaian lainnya. Dari sarung juga Yanti bisa membuat tas, sprai, gorden, sarung bantal, tempat tisu, gantungan, bros bahkan sandal.

Hide Ads