Majalaya, salah satu kecamatan yang ada di wilayah timur Kabupaten Bandung pernah berada di puncak kejayaan sebagai wilayah penghasil produk tekstil terbesar di Indonesia, hingga Majalaya dikenal sebagai Kota Dollar. Namun, seiring berkembangnya waktu produk tekstil Majalaya kalah bersaing sejak dibukanya keran impor tekstil dari Cina.
Adalah Yanti Lidiati, seorang perempuan kelahiran Kediri tahun 1966 dan memiliki ibu bernama Tjijih Rukaesih asli Majalaya, rela meninggalkan profesinya sebagai wanita karir di Jakarta demi mengabdi kepada masyarakat dan milik misi mengembalikan kejayaan produk tekstil Majalaya yaitu sarung Majalaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingin agar pengusaha sarung di Majalaya, Ibun dan sekitarnya dapat memberdayakan masyarakat dengan membuat inovasi dari potensi lokal. Sarung sarung sarung. Sarung bisa dibuat apa saja, yang saya buat di sini all about sarung bagaimana bisa bawa blazer ini ke ujung dunia atau istilahnya ke luar Ibun," kata Yanti kepada detikcom, Jumat (4/10/2019) di SMK An-Nur Ibun.
![]() |
Yanti mengungkapkan, para pengusaha sarung Majalaya harus berinovasi. Seperti di ketahui, pasar sarung hanya ramai ketika menjelang idul fitri atau momen seperti menjelang pemilu. Ia juga berujar, para pengusaha sarung Majalaya harus mampu bersaing, karena persaingan yang terjadi saat ini bukan hanya dengan pengusaha di Indonesia saja, tapi dengan pengusaha di luar negeri.
"Menurut saya, tanpa ada persaingan tidak akan keluar dari zona nyaman. Dengan adanya persaingan, tugas kita bagaimana menumbuhkan inovasi, kita merasa yakin kita adalah leader, kita bangga, rejeki sudah ada yang mengatur, kita berbuat jangan sampai ada kata kalah bersaing. Tanpa ada persaingan saya pikir tidak akan maju, dengan persaingan kita akan terus berinovasi dan kita tidak akan berhenti belajar, jika kita berhenti belajar kita akan jatuh karena tidak bisa keluar dari zona nyaman," ungkapnya.
Yanti yang kini menjadi Ketua Yayasan SMK An-Nur Ibun, menggantikan ibunya yang sudah sepuh menjelaskan, melalui produk blazer sarung itu, ibu-ibu yang tadinya tidak memiliki penghasilan kini menjadi memiliki penghasilan tambahan dan membantu meringankan beban suaminya.
"Pertama saya datang ke sini lihat ibu-ibu di usia produktif hanya memiliki aktivitas mengantarkan anaknya sekolah. Padahal di usianya itu mereka bisa memiliki penghasilan tambahan dan tidak menganggu pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Saya ajak mereka masuk PKBM An-Nur dan berhasil membuat blazer sarung ini," jelasnya.
Menurutnya, tak seperti membalikan telapak tangan sendiri untuk mengenalkan blazer sarung yang ia namai 'its Blazer Ibun' ke pasaran. Untuk meyakinkan konsumen, Yanti harus mengenakan blazer sarung dalam setiap aktivitasnya.
"Saya pernah ada undangan khusus di Surabaya, di undangan tertera harus pakai batik. Karena saya punya blazer sarung ya saya pakai ini, saya cari motif yang ada sedikit motif batik. Pas di acara banyak yang lihatin saya, saya tetap percaya diri, pas selesai acara ada yang nanya. Inikan sarung? Iya, sarung, tapi sarung bisa jadi busana yang bagus kalau bisa membuatnya. Dan orang itu sekarang jadi reseller saya asal Surabaya," ujar Yanti sambil menunjukan blazer sarung warna cokelat yang dikenakannya.
Tak hanya itu, inovasi membuat blazer sarung muncul setelah produk sarung Majalaya digempur oleh produk tekstil luar negeri. Menurutnya, saat ini sarung tidak hanya diproduksi di Indonesia saja.
"Sekarang persaingan sarung, sudah diproduksi di beberapa negara. Saya tetap harus mengangkat dan membawa sarung sampai ke luar dan berinovasi khususnya sarung Ibun atau Majalaya (Ibun sebelumnya masuk wilayah Majalaya) ini agar memiliki nilai jual," ujarnya.
Tak hanya kepada para ibu-ibu yang ada di sekitar rumahnya. Keterampilan membuat blazer sarung ini juga di tularkan Yanti kepada anak didiknya yang berada sekolah di SMK An-Nur Ibun. Meskipun ia memiliki jabatan sebagai Ketua Yayasan, Yanti turun langsung mengajarkan anak didiknya untuk membuat blazer sarung yang memiliki kualitas dan nilai jual tinggi. Hal itu bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Sarung Majalaya itu sendiri.
"Pada saat blazer sarung ini mau dijual, kita harus menjual produk yang memiliki kualitas dan kita tetap bangga dengan sarung. Tapi yang paling penting jaga kualitas itu nomor satu, sebagus apapun kalau tidak bisa jaga kualitas akan kalah saing dengan dunia luar. Karena produksi sarung tidak hanya di Indonesia, tapi merambah ke beberapa negara yang memproduksi sarung. Ini tugas kita bagaimana menjaga, menginovasi dan tetap bangga dengan produk lokal," ujarnya.
![]() |
Yanti kini merasakan kehidupan yang sebenarnya, setelah hampir 20 tahun lebih ia mengabdi sebagai karyawan dengan kedudukan strategis di salah satu perusahaan besar di Jakarta dengan penghasilan yang sangat menjanjikan.
"Saya merasa mendapatkan sesuatu yang jauh dalam kehidupan ini, mendapatkan kepuasan batin yang tidak bisa dihargai dengan uang. Di situlah arti kesuksesan, meski saya belum sukses, saya merasa belajar banyak di sini, belajar tidak hanya ilmu tapi belajar ilmu kehidupan yang mungkin di dalam buku tidak ada," paparnya.