Ketika banyak pengusaha terhuyung-huyung dan ambruk saat badai pandemi Covid-19 menerjang pada awal 2020, bisnis Devi Yanuari justru secara bertahap mulai melenting. Perempuan kelahiran Surabaya, 25 Januari 1989 itu memulai usaha di bidang fesyen sejak 2012. Produknya mulai bros, headpiece, busana muslimah, hijab, hingga dumpling bag (tas tangan perempuan) yang dijual secara online.
Selama tujuh tahun pertama Devi mengaku mengerjakan semuanya sendiri. Mulai menjahit, memotret, mengedit dan mengunggahnya ke media sosial, merespons pesanan pembeli, membungkus, hingga mengirimnya melalui kantor pos jasa pengiriman paket lainnya. Kenapa demikian?
"Ya karena saya saat itu belum ada budget buat bayar pegawai. Nggak ada uang buat 'dibakar' diawal untuk nge-boost bisnis," kata Devi blak-blakan. detikcom berbincang dengan alumnus Jurusan Akuntansi dari Universitas Airlangga, Surabaya itu di sebuah kedai kopi di Sawangan, Rabu (20/2/2024) siang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengaku bakat dan jiwa wirausahanya telah tertanam sejak masih SD dengan berjualan Es Mambo. Hal itu terus terasah di tingkat SMP dan SMA. Saat kuliah selain berjualan aneka jilbab dan cardigan di lingkungan kampus, Devi aktif berburu aneka lomba demi meraup rupiah. Hasilnya, dia pernah terpilih menjadi 'Ning Persahabatan' 2008, Finalis Putri Indonesia Jawa Timur, dan Juara 2 Duta Antinarkoba.
"Hadiahnya aku buat modal kulakan baju di PGS (Pasar Grosir Surabaya) terus aku jual lagi di kampus," kenangnya.
Sejak 2021 dia telah memiliki konveksi sendiri dengan 8 orang penjahit. Juga punya 4 staf yang khusus mengelola media sosial. Bila omzetnya dulu cuma Rp 10-20 juta per bulan, kini sudah berlipat menjadi sekitar Rp 100 juta per bulan.
![]() |
Kunci sukses itu selain doa adalah kreativitas untuk berinovasi, pandai memanfaatkan peluang, dan melakukan branding. Sebab setiap orang mungkin bisa membuat produk dan menjualnya, tapi yang membedakan adalah bagaimana agar loyal untuk terus membeli produk kita. "Itu perlu membangun trust dengan menjaga kualitas produk dan inovatif," ujar Devi.
Salah satu inovasi yang coba dikembangkannya dalam beberapa bulan terakhir adalah menambahkan bordiran karya anak penyandang autistik sebagai hiasan dumpling bag sehingga lebih unik dan menarik. Anak autistik dimaksud bernama Malik yang berusia 8 tahun. Dia tak lain adalah putra semata wayangnya yang dikarunia kemampuan membuat drawing art sejak usia 4 tahun.
"Dia suka sekali menggambar monster dan biota laut. Saya mengkurasinya dari ratusan gambar yang dibuatnya," kata devi.
Setiap gambar, baik monster maupun biota laut yang digambar oleh Malik, ia melanjutkan, dibuat dengan cantik oleh tim Misis Devi. Gambar yang sudah dilengkapi warna kemudian dibordir di tas berbahan venus knit sehingga terlihat berkelas. Dumpling bag produksinya selain menggunakan beberapa condiment yang mewah, juga dilengkapi kancing magnet. Harganya berkisar antara Rp 135.000-215.000.
![]() |
Ia bersyukur pasar merespons kolaborasi tersebut dengan baik. Ia mengklaim menerima pesanan ribuan unit setiap bulan. "Selain lokal, karena dijual lewat marketplace pemesannya banyak juga dari Malaysia dan Singapura. Mereka mengapresiasi karya Malik dengan tulus," tutur Devi.
detikcom mencoba menelisik Instagram Misis Devi yang memiliki 78,4 ribu followers, dan menemukan sejumlah kesaksian positif. @Anorti_ika, misalnya, mengaku pertama kali membeli 10 unit dumpling bag, dan menambah 5 unit lagi untuk hadiah kepada kerabat dan teman-temannya. "Yang nerima senaneng semua bilang bagus..tp emg sebagus itu.. keep growing misa."
Untuk produk busana muslimahnya pun ada yang memuji karena kualitas bahan dan jahitannya cukup baik. "Buat ngado juga pantes banget apalagi ditambah box yg cantik," tulis @birulangitluas.
Sebagai wujud rasa syukur, Devi Yanuar yang menjadikan dirinya sendiri sebagai model untuk mempromosikan produk-produknya di media sosial, bertekad untuk menyisihkan sebagian hasil penjualan dari kolaborasi ini kepada anak berkebutuhan khusus lainnya. "Semoga Allah Ridho," ujarnya.
Ketika Malik terdiagnosis mengidap autistik saat berusia 2 tahun, Devi mengaku sempat terpukul. Beruntung ibu mertuanya yang seorang dokter selalu meyakinkan agar sejak dini melakukan terapi dan pengobatan, selain berserah diri kepada Illahi. Dia sempat menarik diri dari pergaulan sosialnya karena stigma negatif yang muncul kemudian. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk bersikap terbuka bahwa putranya mengidap autistik.
Di tengah kesibukannya mengelola bisnis, Devi Yanuari juga aktif memberikan literasi seputar autistik. Lewat podcast MOA (motherofautstic) dia berkolaborasi dengan Isti Anindya dari komunitas Peduliasd. Kebetulan Isti tengah menempuh program doktoral bidang autistik dari Fakultas Kedokteran UI.
![]() |
Simak juga Video: Masih Banyak Pedagang yang Tak Tahu Kebijakan Wajib Sertifikat Halal