Pada 1982, Schultz pindah ke Seattle untuk bergabung dengan Starbucks sebagai direktur operasi dan marketing. Saat itu, Starbucks baru memiliki beberapa kedai kopi.
Schultz memutuskan pergi ke Italia pada 1983 lantaran kagum dengan salah satu toko kopi di Milan yang menjadi tempat orang-orang bertemu dan berbagi waktu bersama di luar rumah dan kantor. Pada saat itu juga, dia resmi meninggalkan Starbucks dan mulai merintis usaha kedainya II Giornale.
Beselang empat tahun atau pada 1987, dirinya pun mengambil alih Starbucks sebagai CEO. Schultz membeli kedai kopi itu dengan bantuan beberapa investor. Di bawah kepemimpinannya, Starbucks menjadi perusahaan dengan pertumbuhan luar biasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir dari Forbes, dari awalnya hanya 11 kedai, kini Starbucks memiliki lebih dari 30 ribu kedai di seluruh dunia. Schultz juga menawarkan asuransi kesehatan kepada karyawannya, baik yang paruh waktu atau karyawan tetap. Bahkan, dirinya pun mencari mitra dengan menawarkan saham perusahaannya kepada publik.
Berkat kecerdasannya, Schultz membawa Starbucks menjadi merek yang mendunia. Kesuksesan yang didapatkan seperti sekarang ini merupakan hasil dari tekad yang kuat dan ketekunan yang teguh.
"Saya masih merasa seperti anak kecil dari Brooklyn yang dibesarkan di perumahan umum," kata Schultz.
Hasil dari kerja kerasnya membuatnya banyak menerima pekerjaan. Salah satunya adalah The Horatio Alger Award bagi mereka yang telah mengatasi kesulitan untuk mencapai kesuksesan.
Di tahun 2019, Schultz berencana maju jadi calon presiden Amerika Serikat (AS) lewat jalur independen. Namun, niatnya itu urung ia lakukan.
Forbes mencatat total kekayaan Schultz per Sabtu, 21 Juli 2022 mencapai US$ 4 miliar atau Rp 60 triliun (kurs Rp 14.500). Dia masuk ke dalam list 1.000 orang paling kaya di dunia, menempati posisi 711.
Simak Video "Video: Starbucks PHK 1.100 Karyawan Secara Global"
[Gambas:Video 20detik]
(das/das)